Kebijakan Subsidi Gaji Bagi Pekerja/Buruh

Permasalahan Terkait Kebijakan Subsidi Gaji/Upah Bagi Pekerja

Ilustrasi Dampak Corona Terhadap Ekonomi (Sumber: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4957507/7-saran-buat-pemerintah-selamatkan-ekonomi-ri-dari-corona)

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan kebijakan pemberian bantuan pemerintah berupa subsidi gaji/upah bagi pekerja/buruh dalam penanganan dampak Covid-19. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Gaji/Upah Bagi Pekerja/Buruh Dalam Penanganan Dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Besaran subsidi yang akan diberikan adalah Rp 600.000,- per bulan selama empat bulan sehingga totalnya adalah Rp 2,4 juta rupiah untuk setiap penerima bantuan. 

Kebijakan Subsidi Gaji/Upah dikeluarkan sebagai tindak lanjut atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020. Tujuannya sebagaimana disebut dalam Permenaker 14/2020 adalah untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi pekerja/buruh dalam penanganan dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). 

Penerima subsidi gaji adalah pekerja/buruh yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Persyaratan pekerja/buruh yang berhak memperoleh subsidi tersebut tercantum pada Pasal 3 ayat (2) Permenaker 14/2020. Pekerja/buruh harus merupakan warga negara Indonesia, dibuktikan dengan nomor induk kependudukan (NIK). Pekerja/buruh terdaftar sebagai peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan BPJS Ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan nomor kartu kepesertaan. Pekerja/buruh merupakan penerima gaji/upah, jadi pekerja/buruh bukan penerima gaji/upah yakni karyawan yang melakukan kegiatan atau usaha ekonomi secara mandiri untuk memperoleh penghasilan dari kegiatan atau usahanya bukan penerima manfaat program ini. Kepesertaan buruh/pekerja pada BPJS Ketenagakerjaan (setidak-tidaknya) sampai dengan bulan Juni 2020. Pekerja/buruh merupakan peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan yang membayar iuran dengan besaran iuran yang dihitung berdasarkan gaji/upah dibawah Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sesuai Gaji/Upah terakhir yang dilaporkan oleh pemberi kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan tercatat di BPJS Ketenagakerjaan, serta memiliki rekening bank yang aktif. 

Sesuai dengan persyaratan tersebut, maka data calon penerima subsidi gaji bersumber dari data peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh pihak BPJS Ketenagakerjaan. Daftar calon penerima subsidi gaji disampaikan kepada Menteri Ketenagakerjaan, untuk selanjutnya ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran yaitu pejabat pada Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. KPA mengeluarkan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM LS) kepada Kantor Pelayanan Pembendaharaan Negara untuk selanjutnya dilakukan penyaluran melalui bank penyalur berdasarkan kerja sama KPA dengan bank penyalur. 

Permasalahan yang Mungkin Terjadi

Setiap kebijakan selalu memiliki kemungkinan terjadinya permasalahan dalam implementasinya. Hal tersebut antara lain diakibatkan terdapat masalah yang belum terakomodir dalam proses perumusan kebijakan, sehingga menyisakan persoalan pada tahap implementasi. Selain itu, ketersediaan dan validitas data masih menjadi momok dalam penyusunan kebijakan di negara kita sehingga selalu menimbulkan persoalan ketidaktepatan kelompok sasaran. 

Dalam mencermati kebijakan subsidi gaji, terdapat beberapa masalah yang mungkin akan terjadi dalam implementasi kebijakan ini dan berujung pada ketidakpuasan hingga potensi adanya protes oleh pekerja/buruh.

1. Pekerja/buruh tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Ketenagakerjaan menyatakan bahwa masih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Umum dan SDM BPJS Ketenagakerjaan sekitar bulan Desember 2018, sehingga sangat mungkin hingga saat ini masih banyak buruh/pekerja dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta yang tidak terdaftar jaminan sosial ketenagakerjaan. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Presiden Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI) sebagaimana dikutip Kompas, 07/08 seraya menyatakan bahwa tidak terdaftarnya pekerja/buruh tersebut bukan salah pekerja karena pihak perusahaan-lah yang memiliki kewajiban mendaftarkan kepesertaan jaminan sosial. Sementara syarat utama untuk memperoleh bantuan pemerintah ini adalah keanggotaan pada BPJS Ketenagakerjaan, sehingga berpotensi merugikan banyak pekerja/buruh yang belum terdaftar pada BPJS Ketenagakerjaan. Hal tersebut pun menjadi pembahasan dan poin hasil pertemuan Komisi IX DPR RI dengan Menteri Tenaga Kerja dan Direktur BPJS Ketenagakerjaan, 26 Agustus 2020.

2. Iuran kepesertaan pekerja/buruh pada BPJS Ketenagakerjaan terlambat atau tidak dipenuhi perusahaan

Permenaker 14/2020 menyebutkan bahwa salah satu syarat penerima subsidi adalah kepesertaan aktif setidaknya sampai Juni 2020. Sementara itu akibat Covid-19, sejak bulan April 2020 ratusan ribu perusahaan meminta relaksasi pembayaran kewajiban perusahaan atas iuran BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah memang telah memberi sinyal untuk mengambil kebijakan soal itu, tetapi Peraturan Pemerintah mengenai hal itu masih dalam pembahasan pada bulan Agustus ini. Artinya, antara bulan April hingga Juni patut diduga banyak perusahaan tidak menunaikan kewajibannya membayar iuran kepesertaan jaminan sosial yang menjadi kewajiban pemberi kerja dikarenakan alasan tersebut. Dengan demikian, dapat diduga pula bahwa banyak kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan pekerja/buruh yang bermasalah sehingga tidak lolos syarat aktif sampai Juni 2020. Hal ini berpotensi mengganjal hak pekerja/buruh untuk memperoleh subsidi gaji karena dipandang tidak memenuhi persyaratan. 

3. Data gaji/upah yang terdata di BPJS Ketenagakerjaan bukan gaji/upah sebenarnya

Kebijakan Subsidi Gaji sesuai Permenaker 14/2020 ditujukan bagi pekerja/buruh dengan upah/gaji di bawah Rp 5 juta. Sementara itu diketahui bahwa banyak perusahaan melaporkan nominal gaji pekerja/buruh bukan yang sebenarnya kepada BPJS Ketenagakerjaan. Umumnya perusahaan melaporkan nominal gaji lebih kecil daripada gaji pekerja/buruh yang sebenarnya. Hal tersebut diduga dilatarbelakangi motif perusahaan untuk mengakali besaran kewajiban perusahaan dalam membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan. Sebagaimana diketahui, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, prosentase kewajiban iuran dihitung berdasarkan besaran gaji. Jadi bagi perusahaan, lebih kecil gaji yang dilaporkan akan lebih menguntungkan karena iuran yang ditanggung juga akan lebih sedikit pula. Sebaliknya, hal itu sangat merugikan bagi pekerja/buruh terkait hak jaminan sosial ketenagakerjaannya. 

Dalam implementasi kebijakan ini, tidak validnya data gaji yang dilaporkan kepada BPJS Ketenagakejaan berpotensi menyebabkan bantuan subsidi salah sasaran. Misalnya, gaji yang diterima oleh pekerja/pegawai sebenarnya di atas Rp 5 juta namun terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan bergaji kurang dari Rp 5 juta. Pekerja yang seharusnya tidak berhak atas subsidi berdasarkan kebijakan tersebut, justru memperoleh subsidi. Disisi lain, banyak peserta bergaji jauh di bawah Rp 5 juta justru tidak ter-cover kebijakan ini karena belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

Pasal 8 ayat (1) Permenaker 14/2020 memang menyatakan bahwa pemberi kerja yang memberikan data yang tidak sebenarnya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, tetapi penerapan sanksi tersebut tentu tidak dapat dianggap berkorelasi positif dengan keberhasilan implementasi kebijakan ini. Penerapan sanksi agaknya tidak jauh lebih penting dibandingkan manfaat yang dapat diperoleh apabila implementasi kebijakan dilakukan tepat sasaran. Adapun Pasal 8 ayat (2) Permenaker 14/2020 mengatur kewajiban pengembalian apabila subsidi diterima oleh pekerja/buruh yang (di kemudian hari diketahui) tidak memenuhi syarat, namun seberapa efektif ketentuan tersebut masih menjadi pertanyaan sekaligus pekerjaan yang tidak mudah dilakukan. 

Asep Cahyana (Kang Achay)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Suara Hati

Pelayanan Publik dan Pemuda