Cerpen Suara Hati
Ketika Hati Bicara
|
x
Sore itu, tanggal 7 agustus 2007, matahari
hampir tenggelam di ufuk barat. Burung-burung yang biasa terbang di siang hari,
segera menuju sarangnya dan tugasnya mengisi angkasa nan luas digantikan oleh
burung-burung malam. Kelelawar semakin banyak mengelepak keluar dari gua-gua atau
atap rumah-rumah tua. Berpadu dengan suara tongeret
yang melengking menjadi-jadi meneratas awang-awang dan suara jangkrik
yang melengking setinggi langit. Suara adzan pun mulai menggema dan saling bersahutan
antara satu masjid dengan yang lainnya. Orang-orang pun segera sadar bahwa hari
telah maghrib menjelang malam. Berbagai macam aktivitas segera mereka hentikan.
Ada yang segera mandi dan pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah,
ada juga yang hanya berkumpul bersama keluarganya masing-masing.
Akan tetapi tidak begitu dengan
seorang pemuda yang duduk di kursi di teras belakang rumahnya yang besar yang terletak di perumahan mewah
itu. Namanya Bramono Adikusumo. Tetapi ia nampak sedih dan seperti tak
bergairah menyambut malam yang akan mengistirahatkan tubuhnya dari kelelahan
itu. Padahal tak mungklin karena urusan keuangan karena melihat rumah orang tuanya
sepertinya dia orang berada. Sebentar-sebentar ia bergumam, dan sebentar ia
memukul-mukulkan kepalan tangannya ke tembok di belakang kursi di mana ia duduk
itu. Kemudian memindahkan pukulan tangannya itu ke kepalanya sambil memaki
dirinya sendiri. Ditambah lagi keningnya tak henti-hentinya berkerut. Tampaknya
ia tengah menghadapai masalah yang amat besar. Masalah besar yang beberapa hari
ini, sejak tanggal 3 Agustus yang lalu, mengganjal hatinya setelah membaca
pengumuman kelulusan penerimaan mahasiswa baru di sebuah harian Ibu Kota.
***
Praktis saja, kelakuan tuannya itu membuat Lahir, Batin ,dan Otak ikut
bersedih. Apalagi si Lahir, ia selalu jadi sasaran kemarahan tuannya itu;
kepalanya selalu menjadi sasaran pukulan tuannya. Dan konyolnya lagi yang
dipakai memukul kepalanya itu adalah tangannya sendiri. Ahh….sedih bercampur
sakit dia.
Nampaknya si Batin pun ikut bersedih karena tuannya memaksa ia selalu menangisi
masalahnya tanpa henti, tak ada gairah hidup tuan seperti biasanya. Biasanya Tuan
Bram selalu riang gembira, eeh… sekarang jadi sedih-sedihan begini, terasa
sekali perubahannya. Begitu pun Otak, ia bersedih karena selalu menjadi objek
tuannya untuk memikirkan dan merenungi apa yang terjadi padanya. Hal itu
membuat mereka sedih bercampur marah, benci, dan kecewa kepada tuannya.
Sehingga tanpa disadari tuannya yang sedang melamun waktu itu, ada dialog
berakhir pertengkaran serta aksi saling menyalahkan yang hebat di antara
ketiganya.
“Nampaknya tuan kita ini belum juga
ingin berhenti memikirkan masalahnya itu kawan. Aku sudah capek memproses masalah
Tuan. Neuron-neuronku terasa rusak semua”,
Si Otak memulai pembicaraan. Ia kesal juga kepada tuannya yang tau mau tahu
atas kelelahannya memikirkan masalah tuannya itu.
“Iya…. Sejak Tuan dinyatakan tak
lulus seleksi perguruan tinggi kemarin, Ia murung terus dan lebih tak
meng-enakan aku, akulah yang menjadi sasaran kekecewaannya. Aku jadi sasaran
pukulannya…ah sakit sekali. Jadi, jangan kau anggap dirimu paling rugi Otak,
aku lebih merugi lagi. Coba kau pikirkan, aku tak makan dari tadi pagi karena
Tuan tak nafsu makan .Memang kurang ajar benar itu masalah datang kok seenak
perutnya saja ya…”, tanggap si Lahir seakan tak mau kalah dengan si Otak.
“Eh..kamu masih untung, kamu sih
gampang tinggal ambil aja dari lemak persediaan makananmu itu. Badan Tuan kita
kan gendut abis tuh! Ambil saja lah...sekilo dua kilo kan wajar, secara yang
kuingat tuan kita itu pengen banget diet..ha..ha. .”, Si otak berseru seolah
mencemooh.
“Kau jangan sembarangan Otak tolol, aku
tak mau rugi banyak. Aku kan sudah lama menabung lemak. Apalagi tak mau otot-ototku
yang besar-besar ini berkurang. Nanti, kalau aku kurus kerempeng kau juga yang
akan merugi, tak ada lagi nutrisi yang aku berikan sama kamu!”
“Eh ngeledek boleh aja, asal yang
lain. Jangan sampai bilang saya tolol dong, emangnya kamu bisa mikir? Baru
punya otot gede aja kamu belagu,udah bilang aku tolol! Emangnya kamu siapa,
bisa apa sih kamu tanpa saya, hah?”, Otak ngotot.
“So what gitu loh…aku mau bilang
kamu tolol atau apapun karena kamu memang T-O-L-O-L …en bego!hehe….”, kata si
lahir dengan mulutnya yang meledek, nampaknya si Lahir semakin ngotot.
“Eehh…ada apa ini…Kenapa kalian itu
pada ribut saja, kasihan Tuan kalau kalian bertengkar begini rupa”, Si batin
ikut ambil bagian dalam pembicaran kedua temannya.
“Ah… diam sajalah kamu Batin tak
berguna, mendingan kamu urusin tuh renungan Tuan yang gak beres-beres! Aku ngerasa
tidak enak saja, padahal si Otak yang berbuat kesalahan, lalu kenapa aku yang
menjadi sasaran kemarahan tuan?”, Si Lahir memberi penjelasan dengan
marah-marah.
“Oh sekarang aku mengerti, jadi
kalian lagi membicarakan masalah perlakuan Tuan sama kalian. Eh…teman-teman,
itu bukan masalah kita. Itu masalah tuan. Jadi kenapa kita yang harus berantem?”,
Si Batin mencoba mendamaikan perselisihan kedua temannya.
“Jelas saja saya menyalahkan si
Otak tolol ini. Coba bayangkan olehmu Batin yang baik hati (seolah mencemooh),
dia tak bisa berfikir untuk menyelesaikan soal sama sekali ketika Tuan ujian
masuk ke Universitas. Aku sih sudah berusaha semaksimal mungkin mengerjakan
yang diperintahkan Tuan kita. Aku memegang pensil sebaik mungkin dan mengisi
lembar jawaban itu serapi mungkin. Tapi apa yang dia katakan padaku, maaf ya
Lahir kamu kerjakan sendiri saja mengisi jawabannya karena aku tak bisa
mengerjakannya. ( dengan suara dikecilkan seolah mencemoh Otak). Aku jadi
bingung. Daripada tuan marah, lebih baik aku tembak jawabannya dan alhasil Tuan
tak lulus….”, kata si Lahir seolah tak henti-hentinya menyalahkan si Otak.
“Memang
aku yang salah karena tidak bisa mengerjakan soal itu. Tetapi apakah aku salah
kalau aku meminta bantuanmu? Apalagi aku tidak bisa mengerjakan soal-soal itu
juga sebenarnya gara-gara kamu kan?! Kamu itu egois, maunya menang sendiri. Seingatku,
kamu kan yang selalu merayu si tuan untuk banyak main di luar rumah? Aku dan si
batin sering sekali mengingatkanmu agar segera membuka buku supaya si tuan
semakin pintar dan bisa mengerjakan soal ujian itu. Tapi apa tanggapan kamu? Ga
ada kan?!! Kamu malah enak-enakan ngajak si tuan jalan-jalan sampai lupa shalat
juga. Nah, sekarang terbukti siapa yang salah!”, Si Otak membela diri dengan
panjang lebar.
“Oke kalau gitu, kalau kau terus
menyalahkan aku atas semua ini, mendingan sekarang jangan ada lagi pertemanan
antara kita! kalau kau mau menyalahkan aku terserah padamu. Aku mungkin memang
salah dan aku tak berguna lagi kan buat kalian? jangan lagi ada koordinasi
antara kita. Hubungan kita putussssss sampai di sini!!!!!!”, Si lahir membentak
dengan kerasnya sambil menjatuhkan dirinya ke lantai rumah Bram, tuan mereka
itu.
***
Tiba-tiba
tuan Bramono Adikusumo jatuh pingsan. Beberapa menit dari itu Ia baru ditemukan
oleh pembantunya, Ijem. Ia menemukan Tuan Bramono sudah tergeletak
dengan keadaan tak sadarkan diri di dekat kursi di mana ia duduk-duduk tadi. Kontan
saja si Ijem panik melihat apa yang terjadi terhadap tuannya.
“Masya Allah Tuan, Tuan kenopo
toh?! Bangun Tuan, bangun……tol…tol……”, Si Ijem tersentak setengah berteriak
melihat keadaan tuannya begitu rupa.
Dengan kepanikan yang luar biasa Ia segera mencoba berteriak berniat minta
tolong. Namun tak sepatah kata pun dapat keluar dari mulutnya yang kaku. Oleh
karena itu ia segera berlari menyusul satpam Kasno ke pos. Ia berlari seperti
dikejar anjing gila. Ngos-ngosan nafasnya.
Melihat si Ijem berlari ketakutan seperti itu, Kasno yang telah lama
menyukai Ijem malah memanfaatkannya. Ketika si Ijem berlari ketakutan sambil
mencoba mengatakan sesuatu padanya, ia malan merangkul dan memeluknya dengan
mesra. Terjadilah drama percintaan sesaat antara keduanya walaupun tak
diinginkan Ijem. Mungkin Si Kasno mengira Ijem ketakutan karena melihat hal ghaib
makanya ia bertekad menjadi dewa penyelamat Ijem dengan memeluknya.
Namun tiba-tiba “ Plak…!!!!”, Si Ijem menampar pipi Kasno dengan keras.
“Loh kok malah nampar sih, aku kan sudah mencoba menolong dengan segenap
cintaku padamu sayang….”, Kasno membela diri dengan sedikit gombal.
“Menolong opo, dasar wong geblek. Orang mau minta tolong kok
dipeluk-peluk…”Si Ijem menggerutu.
“Iya deh maaf. Terus ono opo th, kok lari-lari kayak dikejar anjing gila
gitu?”, Si Kasno meminta penjelasan.
“Ya ampun, aku sampe lupa Kasno. Tu..Tu..Tu..Tuan…”, Ijem baru ingat
maksudnya.
“Iya si Tuan kenapa…?”, Si Kasno teliti.
“Tuan pingsan di teras belakang rumah…!”, Ijem menjelaskan.
“ Hahh!!! Kenapa gak bilang dari tadi!”, kata Kasno tersentak sambil berlari
menuju teras belakang.
***
Suasana di ruang tunggu ICU Rumah Sakit Intan Berlian terlihat lengang. Terlihat beberapa orang
tengah menunggu seseorang yang sedang ditangani dokter di rumah sakit itu.
Terlihat pula Ijem ada di antara ketiga orang yang berada di sana. Ternyata
memang benar, mereka adalah Ijem beserta kedua orang tua Tuan Bram, Tuan
Adikusumo dan Nyonya Adikusumo. Mereka terlihat khawatir sekali dengan Bram.
Bagaimana tidak, Bram adalah anak semata wayang mereka. Walaupun mereka sering
sibuk dengan pekerjaan, mereka sangat sayang pada Bram.
Sesekali terlihat Tuan Adikusumo mencoba mengintip ke dalam ruang dari
balik kaca. Namun apa daya karena kaca tertutup rapi oleh gorden dari dalam.
Sedangkan Nyonya Adikusumo dan Ijem terlihat berkomat-kamit memohon kepada
Allah SWT agar Bram diberikan keselamatan.
“Kreeettttt….”, pintu ruang ICU terbuka. Dokter Herdi dan dua orang suster
keluar dari dalam.
“Bagaimana keadaan anak saya Dokter?”, Tuan Adi segera meminta penjelasan
kepada Dokter Herdi.
“Tidak apa-apa Tuan, hanya pingsan saja. Sepertinya nak Bram kurang istirahat
dan terlalu banyak melamun. Otaknya kelelahan dan badannya lemas, hanya butuh
istirahat sehari saja di sini. Apakah ia sedang menghadapi banyak masalah dalam
keluarga?”, Pak dokter berbalik meminta penjelasan.
“Alhamdulillah kalau tidak apa-apa.Tapi setahu saya dia tidak punya masalah
apa-apa dokter, malah dia anaknya periang”, Tuan Adi menerangkan.
“Iya Dok…”, tambah Nyonya Adi.
“Maaf Tuan dan Nyonya saya mohon
izin ikut bicara”, Si Ijem ikut bersuara.
“ Silahkan Mbok”, kata Tuan Adi.
“Terima kasih Tuan. SiMbok melihat setelah pengumuman hasil tes perguruan
tinggi negeri kemarin itu Tuan Bram sering sekali melamun di teras belakang.
Beliau juga sering tidak makan”, papar Ijem.
“Bener itu, Mbok?”, Tanya Nyonya Adi.
“Betul Nyonya”, jawab
Ijem.
“Oh…jadi itu masalahnya Tuan. Baiklah kalau begitu, saya permisi. Maaf,
saya harap bapak dan ibu bisa memberi perhatian lebih pada nak Bram”, Dokter
Herdi mengakhiri pembicaraan.
“Baiklah Dokter!”, kata tuan dan
nyonya Adi berbarengan.
***
Sementara itu di dalam sana terjadi pula dialog antara Batin dan
kawan-kawan.
“Kawan terima kasih kalian telah berdamai. Kalian memang sahabatku yang
paling baik. Tentunya sekarang kita sudah tahu bukan kalau kita bercerai-berai
kasihan Tuan. Semua fungsi tubuhnya baik jasmani atupun rohani tidak akan
berjalan”, Batin memulai pembicaraan.
“Iya Batin, kini aku paham bahwa kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Kita hanya bisa melangkah apabila kita bersama-sama”, kata si Otak menanggapi.
“Iya Batin, aku juga ingin mengucapkan terimakasih karena kau cepat
menyadarkan kami. Kalu tidak, mungkin Tuan akan segera meninggal dan kita semua
yang rugi karena tidak dapat bersama-sama lagi. Sekali lagi terima kasih ya
teman! Sekarang apa permintaanmu untuk membelas jasamu?”, Si lahir bersuara.
“Iya aku juga berterimakasih karena telah mau aku damaikan. Tetapi soal
balas jasa aku mempunyai permintaan yang berat sekali”, tantang Batin.
“Apakah itu???”, Lahir dan Otak penasaran.
“Kita jangan lagi bertengkar, dan harus selalu hidup bersama sampai ajal
menjemput Tuan kita.bagaimana…?!!”, jelasnya.
“Aku setuju itu walau kukira itu akan sulit…”, kata si Lahir.
“Tetapi kita kan sahabat jadi apapun yang terjadi kita akan menghadapinya
bersama. Karena kita punya pahlawan penyelamat seperti saat ini yaitu sahabat
kita Batin yang paling baik sedunia…”, Si Otak berteriak.
“Ah kau bisa saja Otak!”, Si Batin tersipu malu.
Setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit itu, Bramono sudah boleh pulang. Kini ia sudah
dapat menjalani hari-harinya seperti biasa, walaupun masih ada sedikit kecewa
akan kegagalannya tempo hari. Sekarang ia tetap optimis bahwa ia dapat masuk ke
fakultas kedokteran di PTN yang ia cita-citakan dengan jalur SPMB. Walaupun
orangtuanya kaya tetapi ia mau masuk ke fakultas itu dengan jerih payahnya. Tetapi
semua orang di rumahnya, termasuk dirinya tak tahu bahwa kesembuhannya adalah
berkat jasa Batin-ya, hatinya yang baik.
Catatan: Cerpen ini pernah dterbitkan pada http://duniacerita-motivasi.blogspot.com/2009/09/ketika-hati-bicara.html.
Komentar
Posting Komentar