Mengenang Aksi Solidaritas Untuk Rohingya



Keprihatinan warga Rohingya masih terus berlangsung. Duka mereka sepertinya masih tak berujung.  Mereka terusir dari tanah airnya, Myanmar, dan masih harus bertahan pada beberapa negara tetangga. Penderitaan, kelaparan, penyakit, merupakan keseharian bagi mereka sebagaimana kita baca pada berbagai laporan. Apalagi, beberapa minggu terakhir terdengar kabar bencana longsor menerjang ribuan gubuk para pengungsi Rohingya di Bangladesh sebagaimana diberitakan detik.com 15 Juli 2019

Kondisi ini memang belum banyak berubah sejak dua tahun lalu, ketika konflik di Myanmar sedang panas-panasnya dan menyebabkan warga muslim Rohingya terpaksa menyingkir. Pemerintah Myanmar seakan tidak terlalu ambil pusing dengan beberapa laporan lembaga-lembaga internasional, termasuk lembaga-lembaga HAM dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kekerasan yang terjadi terhadap warga Rohingya. Konon kekerasan itu paling banyak dilakukan oleh pihak penguasa militer negara tersebut, namun tidak pernah mengakuinya. Pemerintah Myanmar bahkan belum memberikan status kewarganegaraan bagi muslim Rohingya. Belakangan, Amerika Serikat telah mengeluarkan reaksi keras terhadap sikap Pemerintah Myanmar ini dengan melarang Panglima Militer Myanmar dan beberapa perwira lainnya masuk ke Amerika Serikat, karena dianggap terkait pembersihan etnis Rohingya.

Saya masih teringat  ketika sekitar dua tahun lalu terlibat dalam peristiwa demonstrasi membela Rohingya di depan Pengadilan HAM Internasional di Den Haag, Belanda. Saat itu peristiwa pengusiran muslim Rohingya sedang memucak, dan saya sedang berada di Belanda untuk mengikuti pelatihan danmagang di Nationale Ombudsman Netherlands. 

Hari itu hari Ahad, tanggal 17 September 2017. Sebenarnya itu hari yang sangat spesial buat saya. Itu adalah tanggal lahir saya. Dan saya mendapati kado teramat istimewa, berdemonstrasi di depan Pengadilan HAM Internasional untuk membela kaum tertindas.

Karena kantor libur, saya pun tidak ada jadwal magang dan pelatihan. Beberapa teman mengisi hari itu dengan menjelajahi Eropa, ada yang pergi ke Prancis, Swedia, bahkan konon ada yang sampai ke Jerman. Sedangkan saya sendiri, bersama kawan saya Ida Bagus, tetap tinggal di Den Haag. Kami berencana mengunjungi beberapa tempat penting di pusat pemerintahan Negeri Orange tersebut.

Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Pengadilan HAM Internasional. Saya tiba di lokasi tersebut kira-kira pukul 15.00 waktu setempat. Saya awalnya hanya melihat-lihat karena lokasi masih sepi. Disana juga terdapat tugu peringatan Perang Dunia II. Tapi terlihat beberapa anggota Kepolisian yang berjaga-jaga. 

Tak lama kemudian massa datang untuk berdemonstrasi di depan Pengadilan HAM Internasional. Massa mengatasnamakan dirinya dari komunitas masjid di Den Haag. Mereka terus berdatangan, semakin banyak dan semakin banyak. Mereka kebanyakan dari negara-negara Islam seperti orang Turki, Pakistan, Maroko dan Timur Tengah. Saya sempat bertemu dan mengobrol dengan seseorang bernama Ahmed yang berasal dari Pakistan. Kami berkenalan dan saling mengenang persahatan negara kami, juga mengenang bersama Bung Karno dan Muhammad Ali Jinnah. 

Selain berorasi massa juga membawa spanduk dan pamflet bertuliskan "Stop Genocide in Rohingya". Mereka menuntut agar Myanmar menghentikan tindak kekerasan terhadap etnis Rohingya di Rakhine State. Mereka berorasi meminta PBB dan dunia internasional untuk bereaksi atas peristiwa kemanusiaan di Rohingya. 

Terlibat dalam demonstrasi membela etnis tertindas serta tak disangka sebelumnya adalah pengalaman tak terlupakan. Saya menulis pengalaman tersebut dan mengirimkannya kepada rekan pewarta disertai beberapa foto. Mas Aditya dari detik.com menerbitkan dalam artikel berjudul Kecam Krisis Rohingya, Warga Orasi di Pengadilan HAM Internasional. 

Kini, tahun sudah berganti dan saya sudah kembali ke tanah air saya, Indonesia. Sedangkan warga Rohingya belum juga bisa kembali ke tanah airnya. Dukungan kita semua masih harus terus digelorakan untuk mendukung mereka. Semoga warga Rohingya segera meraih kembali hak-hak mereka dan merajut kehidupan yang aman, damai, dan terteram.

Jakarta, Juli 2019
Asep Cahyana (Kang Achay)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Suara Hati

Pelayanan Publik dan Pemuda