Ganti Rugi Pelayanan Publik, Pandemi dan Ombudsman Baru
![]() |
Sumber: Posko Malut, 2 September 2020 |
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diundangkan pada 18 Juli 2009. Artinya, tahun ini UU tersebut telah berulang tahun ke-11. Beberapa hari sebelumnya, Presiden membentuk Tim Pansel Ombudsman Periode 2021-2026. Saya bermaksud mengangkat salah satu konsep dalam UU tersebut yang hingga saat ini masih terkatung-katung nasibnya, yaitu ganti rugi pelayanan publik. Akankah pandemi Covid-19 mengkatalisasi implementasinya atau justru sebaliknya, karena alasan keadaan darurat fiskal? Ikhtiar apa yang dapat dilakukan Ombudsman 2021-2026 untuk mendorong pelaksanaannya?
Konsep Pelayanan Publik
Pelayanan publik di
Indonesia pada tataran konsep dapat disejajarkan dengan negara-negara maju.
Perundang-undangan memberikan landasan yang kuat untuk terlaksananya pelayanan
publik yang berkualitas bagi masyarakat. Pembukaan UUD NRI 1945 telah mengusung
tujuan bernegara yang sangat public oriented. Gagasan pendiri bangsa menegaskan
tindakan negara dan pemerintah pada hakikatnya ditujukan untuk melayani publik
demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial.
Konstitusi bahkan
mencantumkan beberapa konsep pelayanan publik secara spesifik, seperti
pendidikan (Pasal 31) dan sosial, kesehatan, serta pelayanan umum (Pasal 34).
Indonesia juga telah memiliki Public Service Law. Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik oleh sebagian pihak dipandang cukup revolusioner.
UU Pelayanan Publik tidak hanya mengatur tindakan pemerintah, melainkan juga
menjamin keterlibatan masyarakat sejak penyusunan standar pelayanan hingga
evaluasi.
Pengaduan masyarakat
diberikan akses yang memadai agar masyarakat tidak diperlakukan semena-mena
oleh penyelenggara/pelaksana layanan. Pengawasan dilakukan secara internal oleh
atasan penyelenggara maupun secara eksternal oleh masyarakat, DPR/DPRD, dan
Ombudsman.
Pengawasan eksternal
pelayanan publik di Indonesia telah setara pula dengan negara maju di dunia.
Indonesia mengadopsi Ombudsman yang banyak dipakai oleh negara-negara
Skandinavia di kawasan Eropa dengan pelayanan publik kelas wahid. Republik
Indonesia menjadi satu dari 110 negara yang memiliki Ombudsman Nasional menurut
hitungan Linda C. Reif, seorang ahli Ombudsman dunia.
Ombudsman Nasional
pertama kali dibentuk oleh Presiden Gus Dur melalui Keppres Nomor 44 Tahun 2000
tentang Komisi Ombudsman Nasional (KON). Setelah terbit Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, lembaga ini tidak lagi sebagai
komisi negara, melainkan lembaga negara yang bersifat independen. Meskipun
beberapa pihak memandang Ombudsman RI bak toothless tiger (Bedner: 2018),
transformasi KON menjadi Ombudsman RI menjadikan kedudukan lembaga ini lebih
mantap dengan "perisai" dan "senjata" yang lebih lengkap
(Ombudsman: 2011).
Sifat Rekomendasi
Ombudsman berubah dari morally binding menjadi legally binding. Status lembaga
pengawas pelayanan publik ini juga pun bergeser dari magistrature of influence
menjadi magistrature of sanction. Hal ini dicirikan banyaknya ketentuan sanksi
(baca: sanksi administrasi) dalam perundang-undangan terhadap pihak yang tidak
patuh terhadap pengawasan Ombudsman. UU Pemerintahan Daerah misalnya,
menyatakan bahwa kepala daerah yang tidak melaksanakan Rekomendasi Ombudsman
dapat diberhentikan sementara untuk diberikan pembinaan.
Substansi Menarik
Ganti rugi merupakan
salah satu substansi menarik dalam UU Pelayanan Publik dan UU Ombudsman RI, namun
luput dari perhatian publik dan dunia akademis. Penelusuran saya melalui Google
Scholar dengan kata kunci "ganti rugi pelayanan publik" pada title
hanya menemukan satu artikel yang ditulis Sharon & Hutama (2019).
UU Pelayanan Publik
menyatakan setiap orang yang dirugikan atau pihak lain yang menerima kuasa
untuk mewakilinya dapat melakukan pengaduan. Pengaduan dapat memuat tuntutan
ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan akibat pelayanan yang tidak sesuai
standar pelayanan. Adapun UU Ombudsman RI menyatakan Ombudsman berwenang
membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian laporan masyarakat termasuk
Rekomendasi untuk memberikan ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang
dirugikan.
Berdasarkan UU Pelayanan
Publik, Ombudsman dapat melakukan konsiliasi, mediasi, dan ajudikasi khusus
dalam menangani tuntutan ganti rugi. Ajudikasi khusus adalah proses
penyelesaian sengketa pelayanan publik antara para pihak yang diputus oleh
Ombudsman. Mekanisme dan tata caranya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Ombudsman.
UU memerintahkan agar ajudikasi khusus dilaksanakan paling lambat lima tahun
sejak UU ini diundangkan. Artinya, ajudikasi khusus seharusnya sudah terlaksana
sebelum 18 Juli 2014.
UU juga menyatakan bahwa
mekanisme dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Presiden. Tetapi, Perpres yang diharapkan itu hingga kini belum juga
terbit. Pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden SBY maupun periode pertama
Presiden Jokowi seperti gamang untuk membuka keran untuk implementasi ketentuan
UU ini. Mungkin pemerintah khawatir akan banjir tuntutan ganti rugi karena
faktanya pelayanan publik memang masih jauh dari yang diharapkan publik. Tanpa
Perpres, ganti rugi pelayanan publik hampir mustahil dapat diimplementasikan.
Menyikapi situasi
tersebut, Ombudsman nampaknya tidak ingin ikut menanggung dosa karena tidak
menjalankan perintah UU. Ombudsman memilih menabuh gong lebih dulu dengan
menerbitkan Peraturan Ombudsman Nomor 31 Tahun 2018 tentang Mekanisme dan Tata
Cara Ajudikasi Khusus. Meskipun demikian, terbitnya Peraturan Ombudsman tidak
lantas menjadikan ajudikasi khusus langsung dapat dieksekusi. Perpres tetap
menjadi kunci bagi terlaksananya ketentuan UU Pelayanan Publik mengenai ganti
rugi.
Pandemi dan Ombudsman
Baru
Pandemi Covid-19
merupakan masalah kesehatan, namun meluas menjadi masalah sosial, ekonomi,
bahkan keuangan. Pidato Presiden di depan Rapat Paripurna DPR pada 14 Agustus
2020 memberikan gambaran resmi mengenai kondisi fiskal negara akibat Covid-19.
Defisit APBN 2020 melebar menjadi 6,34% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
karena kebutuhan belanja negara untuk penanganan kesehatan dan perekonomian
meningkat sementara pendapatan negara jauh menurun.
Ekspektasi masyarakat terhadap pelayanan publik yang adil sebagai pencerminan kehadiran negara di tengah kesulitan mereka semakin besar. Prosedur berbelit, sulit, dan berlarut yang lazim sebelum pandemi Covid-19 akan menambah duka mereka. Namun faktanya, masyarakat masih harus menelan pil pahit buruknya kualitas pelayanan, bahkan terkait penanggulangan Covid-19. Bansos tidak tepat sasaran, biaya rapid test dan SWAB untuk keperluan bepergian, kesulitan sapras peserta didik untuk belajar daring, hingga dugaan lambannya pelayanan persalinan karena alasan protokol kesehatan mewarnai pemberitaan media masa.
Oleh karena itu,
implementasi ketentuan ganti rugi menjadi sangat urgen dalam menjamin pelayanan
dijalankan secara berkualitas atau pemerintah harus memberikan ganti rugi yang
layak kepada masyarakat. Hal ini kiranya cukup sepadan dengan berbagai sanksi
pelanggaran aturan/protokol kesehatan yang dibebankan kepada masyarakat.
Tetapi, pemerintah tidak akan mau gegabah mengambil kebijakan saat anggaran
negara ujung tanduk.
Ganti rugi pelayanan
publik sangat erat dengan sejumlah uang yang harus ditanggung negara.
Pemerintah mungkin akan menyatakan bahwa ketentuan UU tidak dapat dilaksanakan
secara penuh saat keadaan kahar, bencana alam maupun bencana non-alam.
Rancangan Perpres yang konon telah disampaikan Kemen PAN/RB kepada Presiden
tidak bisa diharapkan terbit dalam waktu dekat.
Andaikata Perpres
benar-benar tidak terbit, Ombudsman masih memiliki satu senjata pamungkas.
Ombudsman 2021-2026 kiranya dapat menggunakan ketentuan ganti rugi dalam
konteks maladministrasi pelayanan publik. Perintah untuk membayarnya dilakukan
melalui Rekomendasi Ombudsman berdasarkan Pasal 8 Ayat (1) huruf f dan sifatnya
wajib dilaksanakan berdasarkan Pasal 38 UU Ombudsman RI. Pelaksanaan ketentuan
ini tidak bergantung kepada ada atau tidaknya Perpres karena Rekomendasi
Ombudsman merupakan perintah UU Ombudsman RI sedangkan Perpres merupakan amanat
UU Pelayanan Publik.
Harapan publik akan
terpilihnya calon Ombudsman yang tepat kini tertumpu kepada Tim Pansel bentukan
Presiden. Selanjutnya, wakil rakyat di Komisi II DPR pada saatnya nanti
diharapkan memilih Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Ombudsman 2021-2026 yang
paling layak dan patut (fit and proper). Para pihak yang terlibat dalam talent
scouting wasit pelayanan publik itu kiranya dapat mempertimbangkan secara
matang komitmen para calon terhadap ketentuan UU Pelayanan Publik dan UU
Ombudsman, termasuk implementasi ganti rugi pelayanan publik.
Asep Cahyana (Kang Achay)
Disclaimer: Artikel ini sebelumnya telah dipublikasikan di https://news.detik.com/kolom/d-5154934/ganti-rugi-pelayanan-publik-pandemi-dan-ombudsman-baru tanggal 1 September 2020 serta diterbitkan ulang oleh redaksi pada media Posko Malut tanggal 2 September 2020.
Komentar
Posting Komentar