Menjaga Kesehatan Dokter Kita

Sumber gambar: Kompas.com

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyatakan bahwa dokter yang meninggal dunia akibat Covid-19 per 30 Agustus 2020 menembus angka 100 orang (detik.com, 31/8). Angka tersebut masih sangat dinamis dari hari ke hari. Seperti yang disampaikan dalam acara doa bersama secara virtual (kompas, 2/9), data IDI bertambah menjadi 104 orang.

Sangat mengejutkan! Dalam tiga hari ada tambahan empat orang pahlawan kesehatan yang gugur. Padahal jumlah ini belum termasuk tenaga kesehatan (nakes) lain yang sama berjuang di garis depan. Perawat misalnya, hingga akhir Juli 2020 sudah lebih dari 50 orang yang gugur dalam perang melawan musuh mikroskopis. Hal ini tentu menimbulkan keprihatinan dan duka mendalam bagi kita semua.

Apabila dibandingkan dengan jumlah pasien Covid-19 yang meninggal di Indonesia sebanyak 7.616 orang per 2 September 2020, persentase dokter meninggal sebesar 1,37%. Angka ini terbilang tinggi dibandingkan negeri-negeri jiran yang tergabung dalam ASEAN dan dunia pada umumnya. Bahkan sebelumnya, IDI sempat menyatakan bahwa kematian tenaga kesehatan di Indonesia akibat Covid-19 adalah yang tertinggi di ASEAN. Kondisi ini berbanding lurus dengan jumlah kematian secara umum, yang mana Indonesia menempati rangking teratas kematian akibat Covid-19 di ASEAN (health.detik.com,2/9) dengan jumlah dua kali lipat dari Filipina yang menempati urutan kedua. Sedangkan di dunia, rekor kematian nakes paling banyak adalah Meksiko, disusul Amerika Serikat, Brazil, dan India (health.detik.com, 4/9). 

Dokter juga Manusia

Sebagai orang yang awam tentang ilmu kesehatan, saat awal masa pandemi saya sempat heran ‘seberapa berbahaya sih Covid-19 sehingga membuat geger dunia?’ Narasi keliru oleh satu dua pejabat yang bilang ‘itu hanya seperti flu biasa’ atau ‘bisa sembuh dengan hanya minum obat sakit kepala’, berkontribusi kepada sikap skeptis saya. Di sisi lain nalar saya menyangkal, ‘tidak mungkin semua ahli menyatakan sesuatu tidak penting sebagai sesuatu yang amat penting, pasti ada fakta ilmiah mengenai seberapa serius efek si virus ’. Jadi saya memutuskan untuk bertanya kepada ahlinya.

Satu-satunya cara untuk memperoleh penjelasan yang sahih adalah bertanya kepada ahlinya, dalam hal ini dokter atau nakes pada umumnya. Maka dalam satu forum webinar yang menjadi tren baru pada masa pandemi ini, saya meminta seorang dokter meyakinkan saya bahwa Covid-19 itu ada serta seberapa dahsyat tingkat keseriusan resikonya.

Saya beruntung karena sang dokter menjawab dengan cukup bijak. Penjelasan dokter, bahwa prioritas mereka menjaga sekecil apapun resiko kesehatan yang mungkin diakibatkan dari penyakit baru itu. Tingkat resikonya mungkin belum bisa disebutkan persis saat ini (baca: saat webinar itu, awal-awal masa pandemi), semua bukti ilmiah masih dinamis karena berbagai penelitian masih terus dilakukan.

Jawaban tersebut mungkin tidak persis seperti yang saya harapkan. Tapi saya jadi mengerti bahwa dokter juga manusia. Mereka tahu tentang sesuatu tentang penyakit, di sisi lain ada juga yang mungkin belum mereka ketahui secara paripurna terutama mengenai hal-hal baru. Mereka dididik untuk berkata sesuai bukti ilmiah serta bertindak dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian terhadap resiko terburuk. Bahkan lebih dari itu, mereka adalah petugas kemanusiaan yang dituntut etika profesinya untuk menghargai nyawa manusia.

Ketika korban pertama seorang dokter gugur karena Covid-19, saya secepatnya sadar bahwa Corona benar-benar sangat berbahaya bagi manusia. Baik manusia awam seperti saya maupun seorang dokter yang tahu ilmunya, bisa terkena bahkan kehilangan nyawa oleh Corona. Tapi sejurus kemudian saya juga bertanya ‘Jika dokter sibuk menjaga kesehatan pasiennya, lantas siapa yang menjaga kesehatan mereka?’ ‘Bila tiba saatnya mereka lupa, siapa yang mengingatkan mereka?’ Padahal sudah jelas mereka ada di ujung tombak perjuangan, dengan tingkat stres dan beban pekerjaan luar biasa yang membuat mereka menjadi pihak paling rentan tertular. 

Aset Bangsa

Jika Anda menyatakan dokter dan nakes lain adalah pahlawan kesehatan, saya bersama Anda. Tapi dalam tulisan ini saya berpendapat bahwa mereka jug adalah aset bangsa. Oleh karena itu, mereka harus dijaga sekuat tenaga guna menyelamatkan bangsa saat sulit kini, maupun untuk memajukan bangsa setelah situasi aman kembali. Ingat, pemerintah masih punya janji ‘Indonesia Maju’ kepada semua. Kita juga masih punya cita-cita ‘Indonesia Emas 2045’ yang harus terwujud menjadi nyata. Untuk meraih itu semua diperlukan SDM yang sehat jiwa dan raganya. Disinilah lapangan pengabdian mereka, para dokter kita.

Untuk menghantarkan pada kondisi yang unggul dan maju itu secara objektif dan terukur, mau tidak mau kita harus melihat lagi angka. Menurut World Health Organization (WHO), kondisi ideal bagi dokter untuk memberikan pelayanan adalah 1:2.500, artinya seorang dokter melayani 2.500 penduduk. Adapun World Bank (2017) menyatakan, rasio dokter per 1000 penduduk Indonesia berada di peringkat kedua terbawah di Asia Tenggara atau satu tingkat di atas Kamboja.

Kalau kita membuka data sebelum bencana Corona, rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk relatif terpenuhi namun masih terdapat permasalahan serius terkait sebarannya. Data Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2017, rasio ketersediaan dokter di Indonesia adalah 47,6:100.000 atau setara dengan 1:2.100. Tapi bila diturunkan ke persebaran tingkat provinsi, ketimpangan sangat mencolok. Rasio di DKI Jakarta 175,7:100.000 (setara 1:570), sedangkan rasio di Sulawesi Barat hanya 10,7:100.000 (setara 1:9.345) atau NTT 15,9:100.000 (setara 1:6.290). Tidak mengherankan apabila masih banyak fasilitas kesehatan di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) yang tidak memiliki dokter.

Dengan banyaknya kematian dokter dan tenaga kesehatan, rasio ini akan berubah (baca: semakin rendah) khususnya di daerah pinggiran. Padahal pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat merupakan salah satu misi negara. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menyatakan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengatur bahwa komponen standar pelayanan antara lain jumlah dan kompetensi pelaksana pelayanan publik. Adapun Pasal 16 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasar bebas ASEAN di bidang kesehatan mencakup free movement health workforce sudah di depan mata. Jika tenaga kesehatan dalam negeri banyak yang gugur saat pandemi, maka pasca pandemi usai tenaga kesehatan dari negara tetangga yang lebih banyak selamat siap menerkam pasar tenaga kerja kesehatan kita. Apabila itu terjadi, sudah sangat terlambat untuk mewujudkan kemandirian bangsa.

Harus kita sadari bersama bahwa mempertahankan (kesehatan) dokter yang ada adalah mutlak. Menciptakan seorang dokter bukan perkara yang mudah, murah, dan singkat. Lama dan mahal! 

Peran Kita

Mari kita sama-sama menjaga kesehatan dokter kita. Menjaga kesehatan tentu tidak selalu identik dengan menyuntik, mendiagnosa, atau menulis resep obat. Lagipula kita yang bukan tenaga medis tidak memiliki keahlian dan legalitas untuk melakukan itu semua. Maka yang bisa kita lakukan untuk menjaga kesehatan dokter kita adalah dengan memelihara kesehatan diri kita dan keluarga. UU Kesehatan menyatakan, setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya, termasuk orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. Melalui ikhtiar itu setidak-tidaknya kita tidak menjadi beban tambahan yang bisa merusak kesehatan dokter kita.

Pemerintah, sebagaimana banyak disinggung dalam berbagai kesempatan oleh berbagai pihak, hendaknya menyediakan “perisai” berupa alat pelindung diri (APD) yang cukup dan tangguh bagi pejuang di garis musuh. Kebijakan yang efektif untuk mencegah dan mengurangi penularan juga kiranya merupakan suplemen paling ampuh untuk menjaga tubuh dokter kita, sampai “senjata” vaksin bisa digunakan melumpuhkan musuh.

Adapun untuk para dokter dan tenaga kesehatan, kita hanya bisa berharap mereka menjaga dirinya atau mengingatkan sesama kolega untuk senantiasa disiplin, ingat, dan eling saat bertugas. Disiplin, untuk selalu menerapkan keilmuan yang mereka kuasai dan melaksanakan prosedur standar dalam setiap aktivitas mereka. Ingat, bahwa mereka juga manusia, yang punya batas kemampuan fisik dan psikis. Eling, bahwa mereka adalah makluk Tuhan yang tidak luput dari ketentuan-Nya.

Jangan sesekali kita berfikir bahwa keberadaan dokter hanya penting untuk menghadapi Corona. Covid-19 tidak datang untuk menghapuskan penyakit lainnya hingga Corona dianggap menjadi musuh satu-satunya. Penyakit lain masih ada. Bahkan bisa jadi penyakit yang belum ada saat ini, suatu saat akan ada seiring dengan perubahan ekologi atau lingkungan yang rusak akibat ulah kita. Jadi, keberadaan dokter dan nakes dengan jumlah yang memadai dan merata sangat diperlukan, bahkan akan semakin diperlukan di masa depan.

Catatan: ditulis 4 September 2020 dengan beberapa penyesuaian seperlunya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru, Jurnalistik dan Pendidikan Karakter di Masa Pandemi

Wawancara Beasiswa LPDP

Memilih Ombudsman