Masalah Pedestrian sebagai Pelayanan Barang Publik
Beberapa
hari belakangan ramai lagi pemberitaan soal fasilitas pedestrian di ibu kota.
Gubernur DKI Jakarta berencana mengeluarkan kebijakan mengenai pembagian waktu
penggunaan trotoar bagi pejalan kaki dan pedagang kaki lima (PKL). Permasalahan
serupa pernah terjadi pada tahun 2018, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
mengizinkan PKL berjualan di trotoar Jalan Jatibaru Tanah Abang selama
pembangunan skybridge. Saat itu
Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya melakukan investigasi dan menerbitkan Laporan
Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang memuat tindakan korektif kepada Pemprov DKI
Jakarta. Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta juga tengah gencar membangun
fasilitas pedestrian.
Hangatnya
pemberitaan mengenai pedestrian menjadi momentum baik untuk menggugah kesadaran
publik mengenai pentingnya fasilitas ini. Perlu juga menanamkan pemahaman
kepada semua pihak, bahwa fasilitas pedestrian khususnya di perkotaan adalah
barang publik yang sangat diperlukan bagi mobilitas masyarakat. Sayangnya bila
merujuk data Ombudsman, belum banyak laporan masyarakat mengenai pedestrian. Padahal
faktanya kita seringkali menemukan pedestrian yang rusak atau tidak tersedia
sama sekali, ditempati PKL, dijadikan tempat parkir, dilintasi pengendara, dan kejanggalan
lainnya. Kondisi ini menyiratkan pentingnya mengedukasi publik mengenai
kedudukan fasilitas pedestrian dilihat dari sudut pandang pelayanan publik.
Fasilitas
pedestrian merupakan pelayanan publik yang tergolong pelayanan barang publik.
Hal ini merujuk Pasal 5 ayat (3) huruf a UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik
yang menyatakan bahwa pelayanan barang publik meliputi pengadaan dan penyaluran
barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau
seluruh dananya bersuber dari APBN dan/atau APBD. Dengan demikian, ketersediaan
fasilitas pedestrian menjadi kewajiban Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah selaku
Penyelenggara Pelayanan Publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Namun
seseorang yang berfikir kritis tentu akan bertanya: apakah Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah telah memenuhi pelayanan barang publik berupa fasilitas
pedestrian itu dengan baik? Pertanyaan ini kiranya dapat dijawab dengan hasil
kajian Ombudsman RI mengenai fasilitas pedestrian, yang masih cukup relevan
walaupun dilakukan pada tahun 2016. Ombudsman mengkaji pelayanan fasilitas pedestrian
meliputi tiga aspek, yaitu aspek kebijakan, aspek penyediaan (program), dan
aspek pemanfatan (operasional). Kajian dilaksanakan di enam kota besar di Indonesia:
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar dan Medan.
Terkait
aspek kebijakan, teridentifikasi beberapa Undang-Undang yang mendukung terselenggaranya
pelayanan pedestrian, antara lain: UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan
UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 28 huruf c UU Penataan Ruang menyatakan
bahwa Rencana Rinci Tata Ruang yang disusun oleh Pemerintah Kota mesti
memerhatikan rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana pejalan
kaki. Pasal 25 ayat (1) UU LLAJ menyatakan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk
lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan, salah satunya berupa fasilitas untuk pejalan
kaki. Dan Pasal 45 ayat (1) UU LLAJ menyatakan bahwa fasilitas pendukung
penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, antara lain trotoar dan tempat penyeberangan pejalan kaki.
Akan
tetapi, hasil kajian juga menunjukkan bahwa pasal-pasal terkait pedestrian umumnya memiliki proporsi yang
kecil, bahkan hanya sebagai pelengkap
muatan
utama. Undang-Undang Jalan tidak memuat pasal khusus mengenai fasilitas pejalan
kaki melainkan hanya disinggung pada penjelasan Pasal 11 ayat (2) mengenai ruang
manfaat jalan, sebaliknya memposisikan pengguna kendaraan sebagai pihak yang
mendominasi penggunaan jalan. UU LLAJ pun demikian, masih menempatkan trotoar
sebagai “pendukung” penyelenggaraan LLAJ, belum dipandang sebagai unsur utama dalam
sistem LLAJ. Akibatnya, sebagian Pemerintah Daerah pada kebijakan penataan
ruang (RTRW/RDTR) dan kebijakan pembangunan (RPJPD/RPJMD) daerahnya tidak menempatkan
fasilitas pedestrian sebagai isu pembangunan yang strategis, melainkan
diselenggarakan alakadarnya sebagai komplemen dari rencana pembangunan
infrastruktur utama seperti jalan dan drainase.
Terkait
aspek program, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan menyebut Indonesia Ramah Pejalan Kaki sebagai salah satu aksi
gerakan Revolusi Mental. Namun, program nyata Pemerintah pusat terkait penyelenggaraan
pelayanan pedestrian belum terlihat. Pemerintah Kota umumnya membiayai pembangunan
fasilitas pedestrian hanya dari APBN Kota tanpa dukungan
APBD
Provinsi dan/atau APBN, termasuk untuk trotoar pada Jalan Nasional dan Jalan
Provinsi. Akibatnya, program penyediaan fasilitas pedestrian di
daerah belum optimal dan
merata, sangat tergantung visi Kepala Daerah dan ketersediaan APBD.
Dalam
aspek operasional, kajian ini menunjukkan bahwa fasilitas pedestrian belum
secara optimal memenuhi aksesibilitas,
keselamatan, kenyamanan, kemudahan, keindahan dan interaksi. Ketersediaan
fasilitas pedestrian umumnya masih terbatas pada kawasan tertentu. Lebar
pedestrian banyak yang kurang memadai akibat keterbatasan ruang milik jalan. Fasilitas
bagi kelompok khusus, rentan dan penyandang disabilitas juga masih banyak yang
belum sesuai standar. Pemanfaatannya diwarnai banyaknya pelanggaran seperti
ditempati PKL, bangunan liar, parkir liar, hingga vandalisme tanpa ada upaya
penegakan hukum yang memadai. Pemerintah Daerah juga umumnya masih terbatas
dalam pelibatan partisipasi masyarakat dan swasta untuk mewujudkan pelayanan
pedestrian yang berkualitas.
Jakarta, November 2019
Asep Cahyana (Kang Achay)
Catatan:
Artikel ini diterbitkan pada www.ombudsman.go.id tanggal 21 November 2019.
Catatan:
Artikel ini diterbitkan pada www.ombudsman.go.id tanggal 21 November 2019.
Komentar
Posting Komentar