Birokrat Produk Kekerasan Sekolah Kedinasan
Lagi-lagi dunia pendidikan, lagi-lagi terjadi di sekolah
tinggi kedinasan. Kekerasan di perguruan tinggi kedinasan seolah tidak ada
hentinya. Baru-baru ini publik dikejutkan lagi dengan berita Amirullah Adityas
Putra, taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, yang tewas penuh
luka memar. Amirullah diduga tewas setelah diberikan “pembinaan” oleh seniornya
di lingkungan kampus milik Kementerian Perhubungan ini. Dua tahun lalu di
institusi yang sama, Dimas Dikita Handoko harus meregang nyawa, setelah
“dipanggil” ke kosan seniornya. Sebelumnya pada tahun 2008, Agung Bastian
Gultom mengalami hal serupa, tewas di tangan senior.
Hal yang sama kerap terjadi pada lembaga pendidikan sejenis
untuk para calon birokrat ini. Sebut saja Institut Pemerintahan Dalam Negeri
(dahulu STPDN) Jatinangor misalnya. Di sekolah
kedinasan milik Kementerian Dalam Negeri ini tercatat beberapa kasus
praja yang meninggal tak wajar. Kasus tewasnya Cliff Muntu pada tahun 2007
adalah salah satu yang paling menyita perhatian publik. Saat itu, pihak IPDN
diduga menutup-nutupi kasus ini dengan meminta petugas pemulasaraan jenazah
untuk menyuntik formalin ke tubuh korban. Lebih mengejutkan lagi ketika Dr. Inu
Kencana Syafei, salah satu dosen IPDN, mengungkapkan dalam buku IPDN
Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani, bahwa ada lebih kurang 17 kematian tak
wajar praja IPDN dalam kurun 1990-2007.
Kita sepatutnya miris dengan kekerasan di dunia pendidikan
ini. Namun seharusnya kita lebih khawatir lagi bila mengingat akan jadi apa
lulusan sekolah-sekolah kedinasan itu. Birokrat. Mereka akan menjadi
pegawai-pegawai negara yang menentukan kemana negeri ini akan dibawa. Mereka
sebenarnya lebih memerlukan otak yang sehat daripada otot yang kuat atau perut
yang tahan pukul. Masyarakat yang akan mereka layani lebih memerlukan senyum
yang berkembang daripada wajah yang penuh kebencian. Akankah pola pendidikan
penuh dendam dan tinju seperti itu memenuhi kebutuhan birokrat harapan rakyat?
Eksklusivitas
Sekolah kedinasan dilaksanakan dengan berbagai ekslusivitas
bagi para peserta didiknya. Mulai dari penamaan peserta didik (praja, taruna,
siswa, dll), seragam khas (yang diagung-agungkan), senioritas, asrama terpisah
yunior-senior, slawir (hormat ketika bertemu senior), disiplin semi-militer,
hingga jaminan setelah lulus langsung jadi Pegawai Negeri. Hal-hal ekslusif ini
berinteraksi hingga mengkristal membentuk tradisi hingga hukum tidak tertulis
bahwa senior selalu benar dan yunior selalu salah. Kepatuhan terhadap senior
seolah-olah adalah hal mutlak, kendati senior berlaku salah. Apalagi, tidak
jarang otoritas kampus memberikan kewenangan kepada para senior untuk melakukan
pembinaan terhadap yuniornya.
Kepatuhan tanpa batasan benar-salah dari yunior kepada
senior adalah tradisi yang jelas-jelas tidak sehat. Apalagi para lulusan ini
akan langsung menjadi birokrat dan sangat mungkin membawa tradisi tidak baik
ini ke dalam dunia kerja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila virus
ewuh pakewuh hingga penyakit Asal Bapak Senang (ABS) terus menerus terjadi
dalam tubuh birokrasi yang semakin rapuh. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme akan
semakin sulit diberantas karena bawahan tidak berani dan tidak boleh
berani-berani menegur atasan yang khilaf. Pengembangan karier dengan merit
sistem jelas akan terhambat karena yang berlaku adalah senioritas “abang dulu
baru situ”. Lebih parahnya lagi, apabila ada yunior yang maju karena
berprestasi, maka akan dijegal bareng-bareng hingga ambruk. Oleh karena itu
bibit-bibit penyakit birokrasi semacam ini harus dipangkas dan dicegah sejak
dini, sejak para birokrat dalam fase penyemaian di lembaga-lembaga pendidikan.
Patologi Birokrasi
Patologi birokrasi atau penyakit birokrasi adalah interaksi
antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang
salah (Dwiyanto, 2011: 63). Adapun macam-macam patologi birokrasi antara lain:
paternalistik, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan, pembengkakan
birokrasi dan fragmentasi birokrasi. Pada patologi birokrasi paternalistik,
atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakuan
spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki
tekad untuk mengkritik apa saja yang dilakukan atasan. Kita dapat melihat,
tuntutan senioritas tanpa batas yang dipertontonkan oleh para senior peserta didik calon birokrat
menunjukkan paternalistik yang sudah terbentuk bahkan ketika mereka belum memasuki
dunia birokrasi yang sesungguhnya.
Padahal Perpres Nomor 80/2011 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi Indonesia 2010-2025 menetapkan sumber daya manusia aparatur dan budaya kerja aparatur
(culture set dan mind set) sebagai dua dari delapan area perubahan. Maka, untuk
mewujudkan cita-cita Reformasi Birokrasi itu, penyakit-penyakit pada sumber
daya manusia aparatur itu harus diberangus sejak kecambah. Begitu juga budaya
dan pola pikir aparatur yang “sesat” dan
“menyesatkan” harus segera diberantas agar tidak menular pada generasi
berikutnya. Dengan begitu visi Reformasi Birokrasi “terwujudnya pemerintahan
kelas dunia” bisa benar-benar terwujud.
Sudah saatnya Pemerintah menghilangkan eksklusivitas yang
ada pada perguruan tinggi kedinasan itu karena terbukti lebih banyak menuai
mudharat daripada manfaatnya. Kedisiplinan dan keunggulan bukan hanya dapat
diraih dengan pola pendidikan semi-militer, pukulan, tendangan, serta seragam
khusus dengan kebanggan berlebihan. Pun sumber daya manusia aparatur yang
berkualitas bukan hanya dapat dibentuk dengan mengkarantina “bahan baku” calon
birokrat pada sebuah sistem pendidikan milik Kementerian tertentu. Indonesia
masa kini telah memiliki perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dengan
lulusan sarjana yang berkualitas. Spesialisasi keahlian sesuai keperluan setiap
Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah bisa dibentuk pada jenjang setelah
sarjana. Kita patut mencontoh TNI dan Polri telah mulai melakukannya dengan
merekrut calon perwira dari lulusan sarjana.
Asep Cahyana (Kang Achay)
(Catatan: Artikel ini ditulis pada bulan Januari 2017 merespon kasus meninggalnya taruna STIP Jakarta 11 Januari 2017 dan dipublikasikan pula pada tanggal 11 Februari 2017 www.grassuntukmasyarakat.blogspot.com)
Komentar
Posting Komentar