Mustika, Engkaulah Gadis Itu
Hati…
Sudah sangat lama tak ada
yang mengisi hati ini. Entah kemana semua wanita itu. Apakah hati ini terlalu
gersang seperti Gurun Sahara sehingga tak ada yang sudi singgah. Ataukah aku
yang terlalu egois menutup rapat semua pintunya, semua jendelanya, sehingga
membuat sang betina kesulitan memasukinya? Ataukah hatiku bagai rumah hantu
yang membuat semua orang sebisa mungkin menjauhinya?
Aku…..
Entah…. Jawabannya aku
pun tak tahu. Aku pun tak mau mengakui bahwa aku seorang yang sombong. Katanya
aku memperlakukan wanita yang menyukaiku seolah-olah aku seorang raja. Ya,
seorang yang merasa dipuja banyak wanita sehingga dengan seenaknya tak
mempedulikan wanita. Tak mempedulikan apa yang mereka sebut dengan cinta.
Akhirnya kebanyakan dari mereka berurai air mata. “Itu semua perbuatanmu! Itu
semua kelakuanmu! Itu semua karena kau bedebah, lelaki tanpa perasaan!!!” Masa?
Aku tak merasa!
Kata orang aku seorang
yang sangat pendiam dan cuek. Benarkah? Kata orang sepertinya tak ada cinta di
dalam jiwaku. Benarkah? Kata orang, lelaki seperti aku tak akan pernah bisa
jatuh cinta. Benarkah? Kata orang aku kejam, ya kata mereka, kata para wanita
itu. Kata mereka, wanita yang mengemis-ngemis meminta dicintai. Cuih…!!! Untuk
apa mencintai wanita murahan seperti itu. Terlalu hina wanita yang mengemis
cinta pada lelaki!!! Kejamkah kata orang jika aku berkata demikian? Biarlah,
apa peduliku, itu kan kata orang!!!
Wanita….
Wanita, kalian memang makhluk
yang lemah. Kasian. Kalian memang makhluk yang selalu kalah. Kasian. Tetapi
kalian makhluk yang lembut, kalian makluk yang indah, kalian makluk penyayang….
Kalian…ah, aku tak tahu banyak tentang kalian. Wanita. Kalian kadang mempesona.
Siapa bilang? Siapa bilang aku tak pernah menyukai kalian? Kalian kira aku
bukan lelaki normal?
Tetapi, diantara sekian
banyak dari kalian wahai wanita, ada banyak yang bukan wanita. Benar, tidak
semua wanita adalah wanita. Tidak semua wanita adalah perempuan. Tidak semua wanita
adalah isteri. Tidak semua isteri bisa menjadi ibu.
Berfikirlah.
Siapa bilang semua wanita sama. Siapa bilang wanita terhormat yang bisa menjaga
martabatnya bisa sama dan setara dengan perempuan berakhlak bejat? Siapa bilang
semua lelaki menyukai wanita murahan yang memperdagangkan cintanya di pinggir
jalan? Siapa bilang setiap lelaki suka perempuan yang begitu saja menerima
cintanya? Siapa bilang setiap lelaki menyukai perempuan yang dengan mudah untuk
mendapatkannya? Jalang!!! Lelaki yang terhormat lebih menyukai wanita yang
sulit untuk mendapatkannya, pertanda dia istimewa.
Lelaki….
Kata orang, kebanyakan
lelaki hidung belang. Kata orang, kebanyakan lelaki suka memanfaatkan wanita.
Kata orang semua lelaki mudah jatuh cinta. Kata orang, itu kan kata orang.
………………………………….apalagi
yang bisa aku tulis?
Dari sehabis shalat Isya sampai saat datangnya
matahari, jemariku masih menari-nari di atas papan huruf laptop pinjaman kantor.
Aku memang kesepian. Malam sabtu, malam minggu, hanya kulewatkan dengan balutan
warna kelabu. Tidak merah, tidak merah muda, apalagi berwarna-warni pelangi
layaknya warna hati muda-mudi yang dihiasi warna asmara.
Jakarta. Memang luas kota ini. Tetapi, apa yang bisa
kunikmati dari glamornya kehidupan kota ini? Kamar kontrakan inilah Jakarta ku.
Rumah kontrakan inilah kota ku. Aku lebih senang meracau di Ms. Office word daripada mendengar
racauan pengemis-pengemis jalanan dengan racauan yang dibuat-buat. Atau aku
lebih senang mendengar suara Ebiet G. Ade yang diputar di media player daripada mendengar suara sangar pengamen-pengamen
“bayaran” yang terkadang berlaga preman. Aku lebih senang diam berjuang
diantara susahnya menahan hawa nafsu pemuda tanggung daripada harus mengumbar
mata berkelana pada ribuan paha di jalan. Paha yang bertuan dan yang tak
bertuan. Ya, tuan si paha pun tak peduli dengan miliknya. Potret Jakarta,
itulah Jakarta!
Seperti yang kutulis di atas, itu adalah sebagian dari
racauanku. Isi hati yang gundah gulana. Apalagi dengan tiadanya pengisi hati.
Diam!!! Aku sudah banyak dikecewakan wanita. Kau mungkin tak tahu, dan memang
tidak perlu kau tahu itu!
Astaga, aku memarahimu. Maaf, aku memang emosional jika berbicara tentang
wanita pendusta!
Sebenarnya buat apa aku gundah. Tuhan telah
menakdirkan jodoh masing-masing orang bukan? Tidakkah itu sebuah bagian dari
keyakinan jika kau mengaku dirimu beriman? Ya, tetapi….
Hati
ini tetap hampa.
Aku
berharap ada seseorang yang datang. Apa aku salah?
“Katakan
padaku, apa kau sedang jatuh cinta?”
Aku
diam.
“Katakan
padaku, apa kau sedang jatuh cinta?”
Aku
masih diam.
“Jujurlah,
apakah ada wanita yang kau suka?”
Aku masih tak ingin menjawab. Aku pun tak tahu apa
perasaan itu. Mengapa begitu indah, begitu kuat, begitu anggun, begitu
semangat, begitu manis, begitu syahdu, begitu…. Ahh, sampai aku tak tahu lagi
bagaimana mengatakannya.
“Apa
yang kau rasakan?”
Aku.
Lalu aku diam. Aku hanya diam.
“Kau
pasti sedang jatuh cinta. Bodoh!!! Kenapa kau jatuh cinta?”
Masih diam. Aku sendirian. Dari tadi sendirian. Dengan
kemarahan, hati kecilku pergi setelah berbagai pertanyaannya tadi tak
kuhiraukan.
Galau.
Kau datang tanpa kuundang. Kau pergi tanpa kuantar.
Kau datang tiba-tiba. Kau pergi tak aku kehendaki.
“Memangnya
dia jelangkung? Hahaha…. Kau mulai kerasukan syetan!!!”
Tidak. Mana mungkin ada syetan yang indah. Dia
bidadari. Kau tahu itu? Dia datang menyapa lewat wajahnya yang indah dibalut
kerudung sebagai suatu ciri seorang wanita beriman. Dia datang menyapa lewat tutur
kata yang membuat aku mengaguminya. Ia datang lewat untaian rasa yang mulai
merasuki jiwa. Dan, aku tak sadar lagi, aku sudah tak berdaya….
“Lebay! Memangnya dia siapa?”
Aku diam. Tidak ada seorang pun yang akan aku kasih
tahu. Aku malu. Bahkan pada wanita itu. Aku tak mungkin mengatakannya. Atau aku
akan disebut orang gila karena mengatakan cinta pada wanita yang bukan
siapa-siapa ku. Kenal pun tidak.
“Penakut!
Memangnya dia siapa?”
Jangan memaksa! Aku tidak ingin ada yang tahu, cukup
aku sendiri. Dia indah, dan aku hanya ingin merasakan keindahan itu. Dari jauh
saja sudah cukup. Karena jika aku mendekat, itu hanya akan membuatnya menjauh.
Tahu?
“Dasar bodoh, masa mendekat akan membuatnya menjauh! Kau
kira kau sedang bermain layang-layang!! Memangnya dia siapa sih?”
Harusnya memang tak begitu. Seharusnya tidak seperti
bermain layangan. Harusnya aku menghampirinya, dan menyapa namanya. Kerinduanku
sudah terlampau penuh sesak di dada ini. Itu sudah cukup menjadi alasan aku
mendekatinya dan bilang padanya. Tetapi, semua tak mungkin aku lakukan. Kata
orang, cinta musti berkorban.
“Ah,
kau tolol. Itu kata Ebiet G. Ade. Memangnya dia peduli? Siapa sih dia?”
Mengapa dia harus peduli. Aku tak mensyaratkan
kepeduliannya saat aku mencintainya. Aku mencintainya dengan hatiku, tidak
meminjam apalagi mengkredit dari orang lain. Aku, cukup dengan selalu
mengingatnya, aku merasa dia sudah sangat peduli padaku. Lalu kuucap doa pada
Tuhan setiap kali aku selesai shalat. Semoga
Engkau menjaganya, semoga Engkau mengabulkan semua keinginannya, semoga Engkau
membuatnya selalu bahagia. Tuhan, kabulkanlah doaku….. Itulah doaku pada
Tuhan. Dan, aku pun mengadu pada-Nya, aku mecintai makhluk-Nya itu. Apa aku
salah?
“Kau benar. Aku tak akan bertanya lagi siapa dia. Aku
sudah tahu. Aku merasakannya lewat kedalaman perasaanmu padanya. Berjuanglah kawan!!!”
Baiklah. Tapi benarkah kau tahu
siapakah wanita itu?
“Jangan bercanda, kau mengujiku? hahaha…”
Siapa?
“Kok malah kau
yang berbalik nanya. Sebenarnya siapa yang jatuh cinta? Aku atau kau?”
Ayolah….
“Tidak!!”
Ayo……
“Nggak
mau!!”
Please….
“Hmmm…..”
Kumohon…
“Baiklah…. Mustika, bukan?”
Salah!
“Lalu?”
Ini yang benar: Mustika, engkaulah
gadis itu……. (sambil berdendang).
“Kau memang gila!!!”
Jakarta, awal 2015
Komentar
Posting Komentar