Senang Menerima BLSM: Dimanakah Moral Kita?
Sejak menjadi sebuah agenda kebijakan sebagai kompensasi atas
kenaikan harga BBM bersubdisi, kebijakan pemberian Bantuan Langsung Swadaya
Masyarakat (BLSM) memang sudah menuai banyak kritik. Di satu sisi, Pemerintah
mendasarkan kebijakan tersebut pada asumsi bahwa dengan menyubsidi bahan bakar
minyak (BBM) maka Pemerintah sama saja dengan menyubsidi orang kaya. Hal itu
dikarenakan para pengguna mobil pengguna BBM bersubsidi adalah orang-orang
menengah keatas. Sehingga, pemerintah memandang hal ini tidak sesuai dengan
asas keadilan dan tidak pro rakyat. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang
menentang pemberian bantuan langsung kepada masyarakat sebagai sebuah kebijakan
yang secara moral tidak mendidik masyarakat. Masyarakat diajarkan untuk
menengadahkan tangan dan dibiasakan untuk menerima semua dengan ‘gratisan’,
tanpa usaha.
Jika saja, setiap putera bangsa memegang tegus filsafat tersebut. Jika saja, para puteri negeri dengan tegas mempertahankan harga diri untuk ditukar dengan lembaran rupiah secara ‘gratisan’. Jika saja, bangsa ini konsisten menolak segala bentuk pemberian yang tidak mendidik dan sebaliknya melawan ketidak beradayaan dengan perjuangan dan kerja keras serta bergotong royong maka pemerintah akan malu dibuatnya. Bayangkan, ratusan triliun uang tersebut akan kembali kepada Pemerintah yang akan sadar dengan sendirinya bahwa mereka tidak becus membuat kebijakan yang mendidik rakyatnya. Lalu, nanti bersama-sama kita menuntut Pemerintah untuk membuktikan sekali lagi, mampukah mereka mengalokasikan anggaran untuk pembangunan yang lebih nyata bagi kemajuan Negara bukan dengan menghambur-hamburkan uang untuk menyogok rakyat sesaat.
Perdebatan mengenai jadi atau tidaknya kenaikan harga BBM memang sudah berlalu. Pemerintah, dengan
wewenangnya, dan dengan dukungan mayoritas suara DPR ‘yang katanya’ wakil
rakyat, telah mengambil keputusan dengan disahkannya Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013. Namun demikian, sejumlah masalah yang
tidak kalah pelik justeru baru dimulai. Ya, permasalahan terkait dengan
pencairan BLSM ditemukan dimana-mana, terutama mengenai pemberian BLSM yang
salah sasaran. Kritik dari para pihak yang dari semula menolak kebijakan ini
pun kembali mengapi-api menyalahkan pemerintah. Pemerintah tentu saja ada dalam
posisi yang harus (mau) disalahkan karena memang tidak bisa membuktikan
pernyataan mereka untuk memberikan bantuan .
Mental masyarakat kita
Sebenarnya, kejadian semacam ini bukan yang pertama kali terjadi.
Berbagai macam bantuan pemerintah yang
berlabel bantuan sosial atau bantuan untuk orang miskin sesudah sejak lama
banyak ditemukan salah sasaran. Orang yang mampu, bergelang emas, ber-hand
phone Blackberry dan sejumlah atribut kekayaan lainnya ikut ngantri mengambil
bantuan ini. Sementara, masyarakat yang tidak mampu dalam arti yang
sebenar-benarnya hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa dirinya dinilai pemerintah
sebagai orang yang ‘mampu’ dan tidak ada dalam list masyarakat kurang mampu.
Sungguh dunia sudah terbalik dibuatnya. Mengharukan…..!!! (Begitu kata Mas
Tukul).
Terlepas dari kealpaan yang dibuat Pemerintah itu, sudah
seharusnya sebagai masyarakat kita pun ikut mengawal kebijakan yang sudah
‘terlanjur’ dibuat ini. Caranya, paling tidak dengan menilai diri kita
masing-masing. Apakah kita termasuk orang yang pantas menerima bantuan itu?
Apakah kita merelakan harga diri kita sebagai orang yang diberi hanya karena
beberapa lembar rupiah? Sudahkah kita menjadi orang yang paling pantas
menerimanya? Jika menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur, maka
rasa-rasanya tidak akan ada orang ‘beratribut kemewahan’ yang ikut ngantri
bantuan sosial.
Sebaliknya, arahkan perhatian kita kepada tetangga-tetangga kita,
masyarakat di sekitar kita, barangkali ada diantara mereka yang lebih kurang
beruntung daripada kita. Jika mereka sudah mendapatkan apa yang menjadi hak
mereka itu, kita ikut senang. Sebaliknya, jika mereka tidak mendapatnya sudah
menjadi kewajiban kita untuk memberikan saran pendapat kepada pemerintah. Sudah
selayaknya, mereka mendapatkan haknya. Adalah tindakan yang sangat terpuji jika
kita ikut membantu pemerintah untuk memberikan bantuan kepada pihak yang paling
membutuhkan. Memang benar, kita semua sama-sama warga negera Indonesia dan
sama-sama berhak atas perhatian Negara kepada kita. Namun, diantara warga yang
berhak, masih ada warga Negara yang
lebih berhak mendapatkan prioritas.
Moral Bangsa
Sudah jelas dinyatakan dalam Pancasila, Dasar Negara dan Dasar
Filsafat bangsa kita bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bermoral dan
berbudaya yang baik. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sudah seharusnya
terinternalisasi dalam jiwa setiap manusia Indonesia. Dengan begitu, setiap
tindak-tanduk kita sebagai bangsa tidak akan keluar dari lima dasar filsafat
dan pandangan hidup kita bersama tersebut.
Jika saja, setiap putera bangsa memegang tegus filsafat tersebut. Jika saja, para puteri negeri dengan tegas mempertahankan harga diri untuk ditukar dengan lembaran rupiah secara ‘gratisan’. Jika saja, bangsa ini konsisten menolak segala bentuk pemberian yang tidak mendidik dan sebaliknya melawan ketidak beradayaan dengan perjuangan dan kerja keras serta bergotong royong maka pemerintah akan malu dibuatnya. Bayangkan, ratusan triliun uang tersebut akan kembali kepada Pemerintah yang akan sadar dengan sendirinya bahwa mereka tidak becus membuat kebijakan yang mendidik rakyatnya. Lalu, nanti bersama-sama kita menuntut Pemerintah untuk membuktikan sekali lagi, mampukah mereka mengalokasikan anggaran untuk pembangunan yang lebih nyata bagi kemajuan Negara bukan dengan menghambur-hamburkan uang untuk menyogok rakyat sesaat.
Mereka sudah mulai
Disaat kita baru selesai membaca tulisan ini, saudara kita sudah
memulainya. Seorang kakek tua yang tinggal di gubuk bekas kandang kambing di
Jawa Timur dengan tegas menolak untuk
diberikan BLSM dengan alasan ada orang yang lebih membutuhkan daripada dirinya.
Beliau mengatakan bahwa selama dirinya masih mampu bekerja, beliau tidak
berniat menggantungkan diri pada bantuan orang lain.
Di lain tempat, seorang ibu datang kepada pejabat setempat untuk
mengembalikan surat pemanggilan sebagai penerima BLSM karena merasa dirinya tak
layak menerima bantuan ini. Mungkin masih ada lagi yang sudah memulainya,
bertanya kepada diri seberapa layakkah disebut sebagai orang miskin lalu ‘take
action’ melawan kebijakan pemerintah dengan aksi nyata “Menolak Diberi!!!”.
Tetapi, saat kita berbicara mengenai kemuliaan orang-orang tadi,
jauh lebih banyak yang rela berdesakan mengantri walaupun uang di dompet masih
tebal.
(Catatan: Artikel ini ditulis pada saat berlakunya kebijakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat / BLSM telah diterbitkan juga pada blog www.grassuntukmasyarakat.blogspot.com tanggal 30 Juni 2013)
Komentar
Posting Komentar