Kebiasaan Mencontek Ketika Ujian Nasional

Ujian Nasional 2015
Setelah sekian lama terjadi kesimpangsiuran, akhirnya beberapa waktu lalu Pemerintah telah menetapkan kebijakan terkait waktu dan kriteria kelulusan Ujian Nasional (UN) pendidikan untuk Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah Menengah Pertama. Ujian Nasional tingkat SMA/SMK akan dilaksanakan pada tanggal 13-15 April 2015, sedangkan tingkat SMP akan dilaksanakan 4-7 Mei 2015. Terkait kriteria kelulusan, Pemerintah menetapkan bahwa Ujian Nasinal tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa.

 Dengan kebijakan ini, wewenang penentuan kelulusan siswa menjadi domain pihak sekolah, dengan asumsi bahwa guru yang paling mengetahui kompetensi siswa karena melakukan pengamatan dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari di sekolah. Sehingga, guru dapat menilai apakah seorang siswa sudah layak lulus atau belum dari sekolah. Meskipun demikian, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menetapkan nilai standar minimal kelulusan yang harus menjadi acuan pihak sekolah. Untuk dinyatakan lulus UN 2015, siswa setidaknya memenuhi nilai 5,5 untuk setiap mata pelajaran dan rata-rata minimal 5,5. Ketentuan ini dituangkan dalam prosedur operasi standar (POS) yang disusun oleh BSNP. (Sumber: www.kemdiknas.go.id)

Masihkah harus menyontek ketika Ujian Nasional?
Memang benar bahwa Ujian Nasional Tahun 2015 ini tidak lagi menjadi penentu kelulusan melainkan hanya untuk pemetaan yang mana kelulusan setiap peserta didik seratus persen ditentukan oleh sekolah melalui Ujian Akhir Sekolah/Madrasah. Namun demikian, hasil nilai Ujian Nasional peserta didik akan digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bukahkah semua siswa mendambakan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah atau Perguruan Tinggi Negeri favorit? Sedangkan sekolah negeri atau  PTN favorit biasanya mematok nilai tinggi sebagai syarat masuk. Hal ini tentu saja berpotensi menjadi motif bagi peserta didik (juga orang tua dan pihak sekolah) untuk mendapatkan nilai-nilai tinggi pada setiap mata pelajaran dengan dengan cara-cara yang berbeda satu sama lain. Bisa dengan cara jujur, bisa juga tidak. Salah satunya, menyontek!

Sudah bukan rahasia umum bahwa menyontek, khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa, telah menjadi salah satu istilah yang cukup populer. Tindakan yang menunjukkan ketidakjujuran ini dalam Bahasa Inggris, mempunyai padanan kata "cheat" atau "cheating". Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, menyontek dapat pula disepadankan dengan kata menyadur, mengkopi, atau sebagainya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memberi keterangan bahwa kata yang berasal dari kata dasar "sontek" ini mempunyai beberapa arti yaitu 1. menggocoh (dengan sentuhan ringan); mencukil(bola dsb) dengan ujung kaki, 2. mengutip (tulisan dsb) sebagaimana aslinya; menjiplak.

Menyontek yang dimaksudkan dalam tulisan ini mengarah pada suatu tindakan tidak jujur untuk mendapatkan keuntungan bagi orang yang melakukannya. Misalnya, dalam suatu ulangan atau ujian, perilaku menyontek banyak dilakukan dilakukan oleh peserta ujian agar mendapatkan nilai yang tinggi dengan cara-cara yang mudah. Jika peserta lain untuk mendapatkan nilai yang tinggi telah berusaha mempersiapkan diri dengan memperlajari materi yang diujikan, lain halnya dengan orang yang menyontek. Mereka lebih memilih menempuh cara-cara mudah kendati harus melakukan cara-cara tidak waras.

Menyontek dalam makna kekinian terdapat dapat beberapa variasi tindakan antara berupa menjiplak kisi-kisi dari buku mengenai jawaban dari apa yang menjadi pertanyaan ujian dan membawanya ketika ujian, menanyakan jawaban kepada orang lain ketika tes sedang berlangsung, atau mencari bocoran jawaban sebelum tes berlangsung. Begitu canggihnya metode menyontek saat ini, bocoran kunci jawaban dapat dimiliki peserta tes jauh-jauh hari sebelum tes dimulai. Hal ini didukung oleh perkembangan teknologi informasi berupa handphone dan internet yang sudah tidak terbendung.

Termasuk Tindakan Amoral
Membahas tentang menyontek tidak dapat dipisahkan dengan  aspek moralitas. Menyontek adalah tindakan tidak jujur dan dapat merusak nilai-nilai budaya dan kepribadian yang baik. Menyontek menunjukkan indisipliner, amoral, dan bukan merupakan suatu tindakan yang terpuji, bahkan amat tercela. Jika dibiarkan, kebiasan buruk ini membuat kita khawatir akan masa depan generasi muda sebagai tulang punggung pembangunan bangsa dan negara.

Apabila di bangku sekolah seorang siswa sudah berani bertindak tidak jujur, besar kemungkinan pada saat masuk dunia kerja kebiasaan itu tetap terpelihara. Bahkan mungkin penyakit itu akan menjadi lebih akut karena ketidakjujurannya sudah terasah sejak belia. Bukan hal yang tidak mungkin, para koruptor itu adalah produk dari para pelajar penyontek ini. Hal inilah yang harus menjadi dorongan bagi kita untuk melakukan berbagai upaya untuk mengobati penyakit akut yang sejak lama menyerang sistem pendidikan ini.

Mengamankan Ujian Nasional
Ujian Nasional yang sudah di depan mata bisa benar-benar menjadi ajang unjuk kemahiran menyontek. Sebagian siswa bahkan sangat percaya diri pada kemahiran menyontek yang mereka miliki. Hal ini menyebabkan mereka malas belajar. Sehingga yang mereka lakukan bukan mempersiapkan diri atau mempelajari materi pelajaran yang diujikan, melainkan mengatur siasat bagaimana caranya agar mereka bisa menyontek dengan sukses.

Tak heran apabila setiap tahun penyelenggaraan Ujian Nasional di negeri kita selalu diwarnai isu mengenai kebocoran jawaban soal Ujian Nasional. Apabila isu itu benar, kita tentu sangat miris dengan proses dan produk yang dihasilkan pada sistem pendidikan di negeri kita ini. Jika kecurangan tersebut masih berlangsung maka pendidikan sebagai salah satu tujuan nasional dan merupakan pelayanan publik dasar bagi masyarakat belum dapat dikatakan belum berkualitas.

Dalam hasil Monitoring Ujian Nasional yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia sejak tahun 2013, potensi kebocoran soal Ujian Nasional cenderung meningkat. Pada tahun 2013, menurut data Ombudsman RI indikasi adanya kebocoran soal/kunci jawaban sebesar 10,2% sedangkan pada tahun 2014 meningkat tajam menjadi 41,1% dari seluruh jenis permasalahan UN yang ditemukan. Hal ini patut menjadi kekhawatiran kita bersama.

Menghadapi kenyataan tersebut, Pemerintah memang telah menggagas UN dengan sistem online atau disebut computer based test (CBT) untuk tingkat SMA dan SMK tahun ini. Sayangnya, hal tersebut baru dilaksanakan pada 500.000 siswa SMA/SMK di seluruh Indonesia. Alasannya klasik, keterbatasan sarana dan prasarana dan masih dalam tahap uji coba.  Hal ini tentu belum bisa dikatakan cukup paten untuk mengatasi potensi kecurangan pada Ujian Nasional. Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI sebagai pemangku kebijakan pendidikan harus terus menempuh upaya meningkatkan kualitas salah satu proses pendidikan ini. Hal yang tak kalah pentingnya adalah pengawasan berkesinambungan oleh Ombudsman Republik Indonesia sebagai Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik dan seluruh masyarakat Indonesia.



(Catatan: Artikel ini ditulis pada saat Ujian Nasional masih dijadikan tolak ukur utama kelulusan peserta didik. Artikel ini juga pernah dipublikasikan pada www.grassuntukmasyarakat.blogspot.com tanggal 16 Februari 2015 dengan judul "Menyontek Dalam Menghadapi Ujian Nasional" dan ditampilkan pada blog ini dengan beberapa perbaikan/revisi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Suara Hati

Pelayanan Publik dan Pemuda