Mengevaluasi Kebijakan Bantuan Kuota Internet

 

Sumber gambar: Mitrapost.com

Pandemi Covid-19 menyebabkan kegiatan pembelajaran konvensional di ruang kelas sekolah dihentikan. UNESCO menyebut hampir 1,6 milyar atau sekitar 91,3% siswa/mahasiswa di 195 negara terdampak penutupan sekolah. Indonesia juga ‘merumahkan’ pelajarnya secara bertahap sejak awal atau pertengahan Maret 2020. Hal ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan pemerintah mengenai pembatasan aktivitas sosial selama pandemi. Kebijakan belajar dari rumah (study from home) ditujukan untuk mencegah penularan atau cluster penularan baru di lembaga pendidikan. Mendikbud menuangkan kebijakan dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19). SE Mendikbud menyebut belajar dari rumah dilaksanakan melalui pembelajaran daring/jarak jauh.

Sejak awal pemberlakuan kebijakan pembelajaran daring, isu kesenjangan digital telah ramai menjadi pembahasan. Pendidik maupun orang tua dan pelajar kompak mengeluhkan minimnya sarana prasarana hingga kurangnya kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Membengkaknya pengeluaran untuk kuota internet juga menjadi salah satu isu yang banyak dikeluhkan. Aspirasi tersebut memperoleh respon Mas Mendikbud dengan memberi sinyal bantuan kuota internet. Nilainya fantastis, mencapai 7,2 trilyun yang berasal dari APBN.

Tak lama kemudian, muncul Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 14 Tahun 2020 tanggal 18 September 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Kuota Data Internet Tahun 2020. Kuota dibagi menjadi kuota umum yang dapat digunakan untuk mengakses seluruh laman dan aplikasi, dan kuota belajar yang hanya dapat digunakan untuk mengakses laman dan aplikasi pembelajaran yang ditentukan oleh Kemendikbud. Menurut informasi yang tersedia di laman http://kuota-belajar.kemdikbud.go.id/, terdapat 61 laman belajar, lima aplikasi video conference, dan 2.624 laman kampus yang dapat diakses menggunakan kuota belajar.

Besaran kuota umum setiap siswa, mahasiswa, guru dan dosen sama yaitu 5 GB. Adapun kuota belajar dibedakan berdasarkan jenjang: peserta didik PAUD dijatah 15 GB, SD-SMA sebesar 30 GB, mahasiswa sebesar 45 GB, guru PAUD-SMA sebesar 37 GB, dan dosen sebesar 45 GB. Bantuan diberikan untuk empat bulan (September-Desember), disalurkan dalam dua tahap setiap bulan setiap tanggal 22-24 dan 28-30 dengan masa berlaku kuota 30 hari. Pengecualian untuk dua bulan terakhir, bantuan disalurkan sekaligus di bulan November dengan masa berlaku 75 hari. Penyaluran diawali dengan pendataan nomor melalui sistem aplikasi pendidikan (Dapodik dan PDDikti), verifikasi dan validasi oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemendikbud, serta pernyataan tanggung jawab mutlak oleh pimpinan lembaga pendidikan.

Sejak kemunculannya, beragam respon muncul terhadap kebijakan ini. Hal ini sangat wajar mengingat anggaran negara yang digelontorkan tidak sedikit. Penerima manfaat program ini juga sangat besar, meliputi 44 juta pelajar dan mahasiswa serta jutaan guru dan dosen. Hal itu pula yang menjadikan kebijakan ini layak untuk dievaluasi efektivitas dan efisiensinya.

Kuota Umum vs Kuota Belajar

Kemendikbud tidak memberikan bantuan internet tanpa tujuan, melainkan agar digunakan seoptimal mungkin untuk kegiatan belajar mengajar. Tak aneh bila Kemendikbud memberikan kuota umum jauh lebih kecil daripada kuota belajar. Konon Kemendikbud menetapkan itu berdasarkan hasil survey interaksi peserta didik selama proses pembelajaran jarak jauh. Kemendikbud khawatir bila kuota umum terlalu besar justru menyebabkan pemanfaatan kurang bijak, bukannya dipakai belajar malah dipakai keperluan lain yang tidak sesuai tujuan bantuan.

Sebaliknya, Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebut kuota umum 5 GB itu tidak cukup bagi sebagian besar siswa maupun guru. FSGI menyatakan pendapatnya itu berdasarkan hasil survey, dimana hanya 21,7% siswa dan 15% guru yang menyatakan 5 GB cukup. Hasil riset FSGI tentu perlu mendapat perhatian sejauh memenuhi asumsi bahwa penggunaan 5 GB yang dinyatakan tak cukup itu hanya untuk kepentingan belajar-mengajar, tidak tercampur baur dengan penggunaan untuk kepentingan di luar itu.

Melengkapi tuntutan menaikan kuota umum, kuota belajar justru dianggap terlalu besar. Konon penggunaan kuota belajar ini tidak optimal, banyak tersisa padahal masa berlaku hanya 30 hari. Persoalannya tentu tidak hanya berhenti pada istilah ‘mubazir’, melainkan sejauhmana penggunaan anggaran negara yang besar itu mendatangkan manfaat sebesar-besarnya sebagaimana hukum ekonomi. FSGI menyebut, bila kuota yang tersisa dirata-ratakan 15 GB per orang dan harga Rp 1.000,- per GB maka potensi kerugian negara sebesar Rp 1,7 trilyun. Jumlah itu tidak bisa dikatakan sedikit, apalagi tengah kondisi keuangan negara yang morat-marit.

Rendahnya penggunaan kuota belajar ditengarai karena kurangnya pengenalan dan penggunaan oleh pendidik dan peserta didik terhadap sebagian besar laman dan aplikasi rujukan yang telah ditentukan Kemendikbud. Menurut pengalaman salah satu rekan guru, beberapa laman atau aplikasi yang diminati justru tidak full access, dimana beberapa fiturnya hanya bisa dibuka dengan biaya tambahan. Pegiat guru juga menyayangkan laman sekolah tidak masuk dalam daftar rujukan seperti laman kampus.

Sebaliknya, menurut sebagian pihak terdapat laman dan aplikasi yang sering digunakan sebagai rujukan justru tidak masuk dalam daftar rujukan. Youtube disebut-sebut sebagai salah satunya. Hal itu bisa jadi benar adanya, setidak-tidaknya berdasarkan pengalaman saya ketika diminta teman untuk menonton dan memberikan like terhadap video yang diunggah anaknya. “Tugas sekolah”, kata teman saya itu, “semakin banyak like nilainya semakin baik”. Tapi, membebaskan penggunaan kuota belajar untuk aplikasi tersebut tentu menimbulkan pertanyaan ‘benarkah semua aktivitas di Youtube dapat diukur sebagai kegiatan belajar?’.

Konon Kemendikbud tengah mempelajari berbagai masukan itu. Sayangnya, kebijakan yang akan diambil nampaknya bersifat 'sapu jagad' atau cenderung mensimplifikasi masalah. Guna mengoptimalkan penggunaan kuota, Kemendikbud berencana membuka penggunaan bantuan kuota internet untuk seluruh aplikasi dan laman web, kecuali laman atau aplikasi yang di-blacklist. Melalui pendekatan ini, tingkat penggunaan kuota belajar mungkin akan meningkat namun sejauhmana pemanfaatannya untuk keperluan belajar kembali menjadi tanda tanya. Melonggarkan instrumen kontrol dapat memperbesar potensi penyalahgunaan.

Lemahnya Kebijakan Bantuan

Selain persoalan jenis kuota, kebijakan ini mengandung kelemahan dalam hal ketepatan waktu dan ketepatan penerima. Ketepatan waktu memiliki dua dimensi. Pertama, ketepatan waktu penyaluran bantuan kuota dikaitkan dengan kalender pendidikan. Kedua, ketepatan waktu penyaluran dikaitkan dengan jadwal penyaluran yang ditetapkan Kemendikbud sendiri.

Jadwal penyaluran pertama akhir September 2020 terlambat memenuhi kegiatan akademik awal semester ganjil di perguruan tinggi. Menurut kalender akademik, kegiatan akademik umumnya dimulai pada minggu pertama atau kedua bulan September 2020. Artinya, bantuan tidak terlalu memberikan manfaat kepada penerima khususnya pada dua atau tiga minggu awal kegiatan akademik di bulan September. Apabila bantuan diterima tepat waktu sesuai jadwal, bantuan kuota bulan September hanya efektif digunakan selama satu minggu di bulan tersebut dan tiga minggu di bulan Oktober. Begitu pula bantuan bulan Oktober, lebih lama digunakan untuk kegiatan bulan berikutnya dan tidak bisa lebih dari itu karena masa berlaku dibatasi 30 hari.

Bantuan kuota bulan November-Desember yang diberikan sekaligus di akhir bulan November juga diprediksi tidak cukup efektif. Bantuan bulan November akan lebih banyak digunakan di bulan Desember, itupun hanya sampai minggu kedua atau maksimal minggu ketiga karena setelah itu masuk libur Natal, tahun baru, dan libur semester. Libur semester sekolah berlaku dua sampai tiga minggu, sedangkan libur perkuliahan berlaku hingga akhir Januari atau bahkan pertengahan Februari. Alhasil, bantuan kuota belajar dengan masa berlaku 75 hari sejak akhir November hingga kira-kira pertengahan atau minggu ketiga bulan Januari 2021, nampaknya tidak akan laku. Kecuali, kita bisa berharap mahasiswa dan peserta didik di Indonesia berubah menjadi sangat rajin sehingga masa liburan dipakai sepenuhnya buat belajar.

Penyaluran bantuan pun nyatanya tidak persis sesuai jadwal yang ditetapkan oleh Kemendikbud sendiri. Saya menerima banyak informasi dari guru di berbagai wilayah bahwa bantuan tersebut belum diterima. Begitu pula para mahasiswa perguruan tinggi negeri terkenal banyak yang mengaku belum menerima bantuan internet periode bulan September. Padahal sekarang sudah pertengahan bulan Oktober. Prosedur penyaluran diduga berkontribusi pada keterlambatan hingga hilangnya hak penerima atas bantuan internet bulan pertama.

Ketepatan penyaluran juga menjadi masalah yang tidak boleh diremehkan. Prosedur panjang dengan pengecekan berulang nampaknya tidak menjadi jaminan penyaluran tepat sasaran. Kita tentu masih teringat dengan keberatan yang disampaikan Anggota Ombudsman, Alvin Lie, karena bantuan kuota internet masuk ke nomornya. Selain kasus tersebut, masih banyak peristiwa salah sasaran yang luput dari perhatian media.

Melihat kembali masalah dan solusi

Semua persoalan tersebut tentu perlu memperoleh respon dan perbaikan. Namun menurut hemat saya, Kemendikbud sebaiknya tidak hanya sibuk mengurusi permasalahan di hilir tapi juga mengatasi hulunya. Persoalan pokok tersebut adalah efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran negara sebesar 7,2 Trilyun untuk membayar penyediaan bantuan kuota internet sebagai barang publik oleh pihak ketiga yaitu operator telekomunikasi. DPR telah mengingatkan Kemendikbud terkait hal ini sekaligus meminta agar operator tidak terlalu berorientasi mengambil keuntungan. Hal itu wajar karena program ini dalam rangka melaksanakan misi negara, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Adanya kekhawatiran kuota belajar akan mubazir atau tidak efisien sebenarnya bersumber pada satu masalah, yaitu adanya ketentuan masa berlaku. Kita membayangkan kuota belajar untuk anak SD sebanyak 4 x 30 GB itu bisa digunakan sepanjang waktu bukan dibatasi 30 hari, karena fluktuasi kegiatan belajar sangat tergantung kalender pendidikan dan mood belajar si anak. Lagipula terus-terusan berada di depan gadget atau laptop karena ingin menghabiskan 45 GB sebulan juga tidak baik untuk kesehatan anak.

Saya merekomendasikan agar Kemendikbud mengkaji ulang ketentuan masa berlaku tersebut karena tidak mencerminkan barang publik. Penggunaan ketentuan masa berlaku hanya mengukuhkan seolah-olah internet yang dibeli dengan APBN itu masih tetap sebagai barang privat yang diperjualbelikan untuk mencari keuntungan produsen setinggi-tingginya. Kemendikbud harusnya menggunakan posisi tawar atas anggaran yang besar itu untuk ‘memaksa’ operator agar tidak menggunakan ketentuan masa berlaku. Dengan cara demikian, kuota belajar akan bisa dinikmati oleh para pembelajar dan pendidik hingga kapanpun mereka mau karena intensitas penggunaan diatur secara mandiri sesuai keperluan mereka.

Penyediaan barang/jasa pemerintah dalam keadaan bencana non-alam seperti pandemi Covid-19 dapat menggunakan landasan Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Dalam Penanganan Keadaan Darurat. Salah satu kelebihan pengadaan berdasarkan regulasi tersebut, kontrak dan pembayaran dilakukan di akhir prosedur setelah pelaksanaan dan penghitungan hasil pekerjaan. Mengapa Kemendikbud tidak mengoptimalkan regulasi ini? Apabila operator tidak mau meninjau kembali ketentuan masa berlaku, sudah selayaknya negara melalui Kemendikbud hanya membayar kuota internet yang digunakan. Jadi, berapapun kuota yang digunakan oleh pelajar dan pendidik, itulah yang dibayar oleh negara. Cara demikian tentu lebih mencerminkan jual beli yang adil dan beradab.

Asep Cahyana (Kang Achay) - ditulis 18 Oktober 2020. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru, Jurnalistik dan Pendidikan Karakter di Masa Pandemi

Wawancara Beasiswa LPDP

Memilih Ombudsman