Memilih Ombudsman
Sumber gambar: setkab.go.id |
Masa
jabatan Ombudsman periode 2016-2021 akan berakhir pada 11 Februari 2021.
Presiden membentuk Pansel Ombudsman melalui SK Nomor: 65/P Tahun 2020 tanggal 2
Juli 2020 yang berperan menyeleksi kualitas dan integritas calon Ombudsman. Tahapan
seleksi yang telah terselenggara sejauh ini meliputi seleksi administrasi dan seleksi
kualitas secara daring, menyisakan 72 orang yang masuk ke tahap berikutnya
yaitu profile assesment. Pansel mengundang masyarakat untuk memberikan
masukan terkait para peserta yang lulus seleksi kualitas tersebut. Selanjutnya
telah terpilih 22 orang yang lolos profile assessment untuk mengikuti
tes kesehatan dan wawancara. Sesuai UU 37/2008 tentang Ombudsman RI, Presiden
akan menyampaikan 18 nama calon untuk dipilih DPR.
Memilih
sosok Ombudsman yang pas harus jadi prioritas bila kita berharap masalah
layanan publik tuntas. Apalagi lembaga ini mengusung visi ‘Ombudsman yang
berwibawa, efektif, dan adil’. Ombudsman terpilih akan memikul tanggung jawab
berat dalam mewujudkan visi yang luhur itu.
Kriteria
Ombudsman
Menurut
UU 37/2008, untuk diangkat menjadi Ombudsman harus memenuhi sepuluh syarat.
Diantara kualifikasi tersebut yaitu sarjana hukum atau bidang lain dengan pengalaman
minimal 15 tahun, usia minimal 40 tahun dan maksimal 60 tahun. Ombudsman juga
harus cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki
reputasi yang baik.
Batas
usia Ombudsman sedikit berbeda dari lembaga pengawas lainnya, seperti KPK, BPK,
dan Komisi Yudisial. Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menyatakan Komisioner KPK berusia
paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun saat proses pemilihan.
Anggota BPK berdasarkan Pasal 13 UU 15/2006 berusia paling rendah 35 tahun.
Komisioner KY berdasarkan Pasal 26 huruf c UU 22/2004, paling rendah 40 tahun
dan paling tinggi 68 tahun. Adapun Komisioner Kompolnas dan Komisi Kejaksaan
yang diatur Perpres, paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun saat
pemilihan.
Bagi
sebagian pihak, semakin matang usia seseorang dipandang semakin bijak dan berwibawa.
Ombudsman adalah penengah antara para pihak dalam sengketa pelayanan publik. Kebijaksanaan
dan kewibawaan merupakan modal utama Ombudsman untuk memperoleh kepercayaan
para pihak bahwa masalah mereka dapat diselesaikan.
Agar
bermakna, kematangan usia harus disertai pengalaman memadai. Menurut UU, Ombudsman
harus berpengalaman minimal 15 tahun di bidang hukum atau pemerintahan yang menyangkut
penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini mengisyaratkan pentingnya Ombudsman
menguasai permasalahan menyangkut kepentingan publik. Namun, tidak cukup obyektif
jika pengalaman hanya dilihat dari selembar kertas surat pernyataan bermaterai.
Perlu penelusuran yang ketat guna memperoleh informasi yang valid mengenai rekam
jejak para calon. Masyarakat wajib dilibatkan sungguh-sungguh guna mengetahui kecakapan,
kejujuran, integritas moral, dan reputasi para kandidat.
Pentingnya
Reputasi
Reputasi
hendaknya menjadi kriteria utama dalam memilih Ombudsman. Seleksi Ombudsman di
negara-negara Australia dan Pasifik (APOR) lebih fokus mencari kepribadian
dengan reputasi yang sangat baik agar dipercaya publik daripada sejumlah persyaratan
yang dianggap sebagai pembatasan. Adapun di Eropa, tanpa mengesampingkan
profesi lainnya, Ombudsman umumnya memiliki pengalaman dan reputasi yang baik sebagai
hakim. Tidak jarang mereka dipilih sebagai hakim agung pasca sukses menjalankan
tugas sebagai Ombudsman. Niels Fenger terpilih menjadi Parliamentary Ombudsman
- Denmark tahun 2019, menggantikan Jørgen Steen Sørensen yang terpilih sebagai
hakim agung. Reinier van Zutphen yang terpilih sebagai Ombudsman di Nationale
Ombudsman – Belanda tahun 2015 memiliki pengalaman luas dan reputasi sebagai
hakim.
Indonesia
sendiri mencatatkan sejarah baik terkait reputasi pimpinan Ombudsman. Antonius
Sujata merupakan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus sebelum ditunjuk Presiden
Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Komisi Ombudsman Nasional (KON). Adapun Prof. Bagir
Manan merupakan Anggota KON sebelum terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung RI. Ombudsman
dengan pengalaman yang luas, reputasi dan ketokohan yang kuat umumnya sukses
meningkatkan kredibilitas, kewibawaan dan persuasi lembaga Ombudsman terhadap
lembaga lainnya dalam rangka perbaikan layanan publik.
Mengutip
pendapat Michael Frahm (2013), hal pertama dan terpenting Ombudsman sendiri
harus orang yang sangat bereputasi karena fakta bahwa institusi itu memiliki
sangat sedikit kekuatan koersif, dan karena itu kekuatan persuasif dari
pemimpinnya sangat menentukan. Ombudsman harus menunjukkan kredibilitas, daya
tanggap, dan akuntabilitas. Pemenuhan kriteria ini sangat penting sebagai modal
awal bagi Ombudsman untuk mentaati asas dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya meliputi asas kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak
memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan.
Hindari
Kepentingan Politik
Ombudsman
RI adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik
dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Idealnya,
pemilihan pimpinan Ombudsman tidak melibatkan lembaga politik demi menjaga
independensi Ombudsman dari kepentingan politik dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya kelak.
Namun
berdasarkan praktik ketatanegaraan di Indonesia, pimpinan lembaga negara pendukung
atau state auxiliary organ yang bersifat independen sekalipun dipilih
oleh DPR berdasarkan usulan Presiden. Alhasil, meskipun Ombudsman RI bukan
merupakan parlementary ombudsman namun berdasarkan Pasal 14 UU 27/2008
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Ombudsman RI dipilih oleh DPR berdasarkan calon
yang diusulkan oleh Presiden. Penetapan dilakukan melalui Keputusan Presiden
dan sumpah/janji jabatan dilakukan di hadapan Presiden.
Karena
mekanisme yang demikian itu, pemilihan Ombudsman tidak dapat diharapkan bebas dari
kepentingan politik sama sekali. Peta kekuatan politik di DPR khususnya Komisi
II bisa jadi sangat menentukan nama sembilan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Ombudsman
terpilih dari delapan belas nama calon Ombudsman hasil seleksi Pansel yang
diusulkan Presiden. Konfigurasi pimpinan Komisi II saat ini meliputi Partai
Golkar, PDIP, Partai Nasdem, PKB dan PPP. Adapun anggota Komisi II adalah 44
kursi, yang terdiri atas Partai Golkar (6 kursi), PDIP (11 kursi), Partai
Nasdem (5 kursi), PKB (3 kursi), PPP (2 kursi), Partai Gerindra (6 kursi), Partai
Demokrat (3 kursi), PKS (4 kursi), PAN (4 kursi). Meskipun demikian, sebaran
kursi (baca: suara) bukan sesuatu yang mutlak. Berkaca dari proses terpilihnya
Ombudsman periode 2016-2021, pemilihan dilakukan dengan cara musyawarah mufakat
bukan voting.
Terlepas
dari metode pemilihan menggunakan voting atau mufakat, publik tetap berharap kepada
para wakil rakyat untuk bertindak obyektif dalam menilai kepatutan dan
kelayakan setiap calon. Agar terwujud Ombudsman yang tangguh mengawal
transformasi pelayanan publik, kiranya wakil rakyat memilih pimpinan Ombudsman
yang sesuai kriteria publik melampaui kepentingan politik partainya.
Komentar
Posting Komentar