Nasib Pelayanan Publik Daerah Di Bawah Bendera UU Pemda 2014
Hak
Publik dan Kewajiban Negara
Pelayanan publik
adalah hak publik. Publik berhak, bahkan sangat berhak, untuk mendapatkan
pelayanan publik yang berkualitas dari penyelenggara negara dan pemerintahan
dan/atau badan lain yang pembiayaannya menggunakan APBN atau APBD. Hal ini
berkaitan erat dengan tujuan utama bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Paling tidak tiga yang
disebut pertama dari empat tujuan yang tertuang tersebut merupakan cikal bakal
utama pelayanan publik bagi masyarakat, yang diberikan oleh negara melalui
penyelenggara negara dana pemerintahan. Sedangkan satu yang terakhir berupa keiktsertaan
dalam pergaulan internasional, namun pada akhirnya akan berkaitan pula dengan
pelayanan publik bagi warga negara Indonesia. Misalnya, ketika seorang WNI
sedang berada di suatu negara maka dengan hubungan yang baik antara Indonesia
dengan negara tersebut maka WNI tersebut akan lebih terjamin hak-haknya.
Reformasi politik
pada 1998 dan diikuti reformasi di segala bidang, melahirkan sebuah sistem
pemerintahan desentralisasi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta beberapa kali perubahannya.
Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dari Pemerintah pusat kepada
pemerintahan daerah sesuai dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Mayoritas
kewenangan Pemerintah dilimpahkan kepada daerah, kecuali politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, dan agama. Hal ini menjadikan wewenang yang
dimiliki oleh daerah begitu luas. Namun, harus disadari bahwa disamping
wewenang yang luas, kewajiban Pemerintah Daerah terhadap objek-objek kewenangan
ini pun menjadi sangat luas dan kompleks. Hal ini berarti pula bahwa tantangan
untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat semakin luas, kompleks, dan
menantang.
Beberapa kabar
baik datang dari daerah-daerah yang telah mampu memberikan angin segar
pelayanan publik kepada masyarakatnya.
Biasanya daerah yang semerbak harum namanya ini didukung oleh Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang mapan sehingga mempunyai cukup bahan bakar untuk
membangun sarana prasarana dan aspek-aspek lain bagi peningkatan kualitas
pelayanan publik. Namun, bukan hanya faktor itu, faktor lain yang cukup penting
adalah kepemimpinan di daerah, baik eksekutif (kepala daerah) maupun legislatif
(DPRD), serta tata kelola pemerintahan yang dilakukan oleh birokrasi di daerah.
Bisa jadi, daerah yang kaya dengan sumber daya alam dan industri namun para
pejabatnya banyak yang korup, justru bisa menjadi juru kunci klasemen
pembangunan daerah.
Selain
samping membawa kabar baik, burung-burung pembawa kabar
justru lebih banyak membawa kabar berita tidak menyenangkan dari daerah-daerah.
Masyarakat di daerah mengeluh, mengadu, berdemonstrasi, menuntut pelayanan
publik yang berkualitas dari Pemerintah Daerahnya. Hal ini sangat wajar, karena
harapan masyarakat yang telah mereka sematkan di pundak para elit di daerah
bukan main tingginya. Berpijak dari pemahaman bahwa otonomi daerah adalah salah
satu upaya untuk pemerataan pembangunan, masyarakat pun menantikan dan bertanya
“mengapa pemerataan pembangunan belum
juga saya rasakan?” atau “mengapa
kehidupan kami begini-begini saja?”. Sebagian sudah sampai pada level
pertanyaan meminta kepastian: “Kapan akan
tersedia pelayanan pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur yang layak
untuk kami?” Atau ada pula yang mencapai level curiga dan menuduh: “pemerintah hanya melayani diri mereka
sendiri dengan uang kami, uang rakyat!” Melihat kondisi saat ini, dimana
banyak Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi baik sebagai tersangka,
terdakwa maupun sudah diputus bersalah oleh pengadilan, tuduhan masyarakat bisa
jadi benar adanya.
Masyarakat sudah
menantikan perubahan yang digaung-gaungkan itu. Janji untuk mencapai
kesejahteraan dengan wajah baru era reformasi. Ternyata semua itu, saat ini
terbukti hanya bualan semata di mata masyarakat. Belum lagi jika mereka
membandingkannya dengan segala sesuatu di masa sebelumnya, zaman Pak Harto
begitu mereka menyebutnya, dimana dengan pemahaman sederhana masyarakat ukurannya
sangat mudah: sembako murah, keamanan terjamin, pupuk murah d.l.l. Mereka tidak
peduli dengan harga suara politik yang juga murah pada saat itu. Apa yang
dirasakan sehari-hari, itulah kesejahteraan paling nyata dalam ukuran
masyarakat awam.
Catatan
Ombudsman RI
Nampaknya
kekecewaan masyarakat terhadap Pemerintah Daerah memang tidak terbantahkan.
Beberapa data bahkan menunjukkan kinerja Pemerintah Daerah di era
desentralisasi dan otonomi daerah ini memang tidak menunjukkan angka-angka
menggembirakan. Rapor pemda-pemda
banyak yang merah karena terbakar
berbagai api masalah, terlihat dari berbagai sudut potret daerah: korupsi
eksekutif, korupsi legislatif, korupsi berjamaah, jalan mangkrak, drainase amblas,
jembatan putus, sekolah ambruk, puskesmas bocor, balita busung lapar, hutan
gundul, sungai tercemar, irigasi kering, dan sejumlah potret lainnya. Di lain
pihak, elit-elit daerah dan golongannya berpesta pora dengan dana-dana bansos,
dana hibah, dan kepingan-kepingan emas APBN dan APBD yang hanya dinikmati
segelintir orang.
Dalam
catatan Ombudsman Republik Indonesia sebagai Lembaga Negara Pengawas Pelayanan
Publik, Pemerintah Daerah selalu menempati urutan pertama instansi pemerintahan yang
diadukan masyarakat kepada Ombudsman RI dalam lima
tahun terakhir. Bahkan, Pemerintah
Daerah. Laporan masyarakat mengenai Pemerintah Daerah meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2010 pengaduan masyarakat tentang pelayanan Pemerintah Daerah kepada
Ombudsman RI sejumlah 354 laporan (31,13%), meningkat pada tahun 2011 menjadi
671 laporan (35,94%), tahun 2012 menjadi 796 laporan (34,81%), pada tahun 2013
meningkat tajam menjadi 2329 laporan (45,02%), sedangkan pada tahun 2014
sejumlah 2887 laporan (43,24%).
Jumlah dan varian
pelayanan publik yang diselenggarakan Pemerintah Daerah memang menjadi salah
satu pemicu besarnya jumlah pengaduan tersebut. Namun disamping itu, banyaknya
pengaduan masyarakat ini berkaitan pula dengan kualitas tata kelola
pemerintahan di suatu daerah, termasuk responsivitas para pejabat di daerah
terhadap masalah pelayanan publik yang dihadapi warga masyarakatnya. Masyarakat
di suatu daerah tidak akan sampai melapor kepada Ombudsman RI jika keluhannya
telah dapat diselesaikan oleh Pemerintah Daerah itu sendiri. Namun karena Pemerintah
Daerah kerap kali mengabaikan keluhan atau tidak dapat
memberikan solusi penyelesaian maka sudah menjadi hak masyarakat untuk mengadu kepada lembaga-lembaga
yang kompeten, salah satunya Ombudsman RI.
Harapan
Baru “Nasib” Pelayanan Publik Daerah
Keluarnya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan undang-undang pendahulunya yaitu Undang-undang 32 Tahun 2004,
menjadi harapan tersendiri bagi nasib pelayanan publik di daerah. Beberapa
pengaturan di dalam undang-undang ini menegaskan pelayanan publik sebagai sesuatu yang harus ada dalam prioritas
teratas perhatian Pemerintah Daerah. Di samping
itu, undang-undang ini pun memberikan tambahan norma hukum baru untuk Ombudsman
RI dalam melaksanakan wewenangnya terkait pelayanan publik, khususnya berkaitan
dengan rekomendasi Ombudsman RI terhadap suatu maladministrasi yang terjadi
dalam pelayanan publik di daerah. Salah
satu pasal yang mengatur kaitan kewenangan Ombudsman RI dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan publik oleh Pemerintah
Daerah adalah Pasal
351 undang-undang ini.
Pada pasal ini diatur bahwa masyarakat dapat mengadukan penyelenggaraan
pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah kepada Ombudsman
RI dan Kepala Daerah wajib melaksanakan rekomendasi
Ombudsman RI.
Apabila Kepala Daerah tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman
RI sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat tersebut,
maka dijatuhkan sanksi berupa pembinaan khusus oleh Kementerian terkait.
Bagaimanapun, harus
ditegaskan ulang semangat otonomi daerah ini adalah semangat pemerataan
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, tidak
berlebihan jika pelayanan publik kepada masyarakat dijadikan prioritas utama
dalam penyelenggaraan otonomi daerah ini. Dengan terbitnya UU Pemda 2014,
semangat itu semakin nyata terlihat, tinggal bagaimana implementasinya dapat
dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Selain itu, Ombudsman RI dengan
kekuatan 32 Perwakilan Provinsi, sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya sesuai
undang-undang, harus tetap konsisten dan berintegritas dalam rangka mengawal
pelayanan publik di daerah demi meningkatnya kualitas pelayanan publik bagi
masyarakat.
Catatan: Artikel ini ditulis pada tanggal 25 Maret 2015.
Asep Cahyana (Kang Achay)
Komentar
Posting Komentar