Subsidi BBM Dialihkan untuk Pendidikan: Benarkah?


Ketika penulis mendengar bahwa BBM akan dinaikkan, sebagai seorang pelajar, yang belum punya penghasilan, masih tergantung kepada orang tua yang bukan orang berpunya, ada pula rasa iba akan keadaan harga-harga kebutuhan sehari-hari (yang ikut pasti ikut naik) setelah BBM benar-benar dinaikkan. BBM tidak akan naik sendirian, ongkos angkot dan bus kota bakal ikut –ikutan nih. Kenyataan tersebut memaksa saya dan seluruh rakyat miskin di Indonesia menelannya setelah tanggal 14 Mei, pemerintah menetapkan tarif baru bensin menjadi Rp 6.000,00 dan solar menjadi Rp 5.500,00. Kenyataan itu semakin pahit ketika konco-konco BBM, sesama kebutuhan manusia, ikut melambung harganya. Beras, sayuran, dan berbagai kebutuhan sehari-hari lainnya naik harganya dan membuat leher tercekik.

Namun, ketika Bapak Presiden Republik Indonesia bersama para pembantunya menggemborkan bahwa dana subsidi BBM ini bakal dialihkan ke sektor lain, sebagai seorang pelajar, saya cukup gembira. Mengapa? Dalam pernyataannya yang beberapa kali penulis dengar dan lihat dari media, baik secara eksplisit maupun implisit bahwa subsidi itu akan dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk BLT, subsidi kesehatan, subsidi pendidikan, dan lain sebagainya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Mengapa saya gembira? Saya menggarisbawahi tentang “subsidi pendidikan”(termasuk perguruan tinggi negeri). Sebagai seorang pelajar yang lulusan SMA, walaupun sudah kuliah, saya berharap dapat memperoleh kesempatan yang sama dengan orang yang berada untuk masuk ke PTN favorit dengan jalur seleksi (SPMB, sekarang SNMPTN). Dengan subsidi pendidikan yang semakin besar, tentu keadilan mendapatkan pendidikan di PTN yang favorit dengan biaya terjangkau pun akan sama bagi seluruh warga negara Indonesia karena keuangan PTN berasal dari negara, dari seluruh rakyat dan harus dinikmati oleh seluruh rakyat pula.

Kegembiraan itu harus sirna ketika informasi lain saya terima. Hampir seluruh perguruan tinggi favorit  yang ada di seantero nusantara melakukan jalur penerimaan mahasiswa baru melalui jalur seleksi di lingkungannya sendiri, tidak melalui seleksi universal. Sebut saja Unpad dengan SMUP-nya, ITB dengan USM ITB-nya, UGM dengan USM-UGM-nya, dan lain sebagainya. Hal yang dapat membuat hati pelajar miskin goyah adalah bahwa apabila mengikuti seleksi perguruan tinggi negeri dengan ”jalur” ini, calon mahasiswa akan membayar biaya kuliah jauh lebih tinggi selama masa kuliahnya selain uang sumbangan pembangunan yang betapa besarnya. Walaupun kesempatan masuk ke perguruan tinggi impian lebih terbuka, tentu uang akan jadi pertimbangan berat bagi calon mahasiswa dan orang tuanya (khusus golongan menengah ke bawah) untuk menceburkan diri ke PTN yang haus akan uang ini.

Lha kok bisa gitu ya? Katanya subsidi BBM akan dialihkan ke sektor lain yang di antaranya sektor pendidikan. Lalu mengapa terjadi demikian, perguruan tinggi negeri yang sekian jumlahnya di negeri ini tahun ini menerima mahasiswa lewat ”jalur khusus” itu dengan perbandingan yang lebih tinggi dari tahun kemarin, saat pemerintah belum menaikkan harga BBM ?

Hal ini harus dipandang sebagai suatu hal yang serius. Jangan hanya dipandang bahwa hal ini hanyalah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dan dibiarkan terjadi begitu saja. Cobalah pandang hal ini sebagai penodaan terhadap cita-cita luhur dari Pancasila dan UUD 1945. ” Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” harus dipertanyakan kembali kepada para pemimpin negeri ini. Apa mereka sudah lupa maknanya? Apa mereka sudah melupakan pelajarannya waktu SD ketika itu? Atau mereka mengantuk ketika belajar di sekolah dulu sebagaimana mereka tidur saat sidang di ruang ber-AC di Senayan, Jakarta saat ini? Lalu, apakah pemerintah sudah melupakan pula pasal 31 UUD 1945 tentang hak memperoleh pendidikan bagi seluruh rakat Indonesia?

Pembatasan terhadap pendidikan tersebut jelas telah menumbuhkan kembali kesenjangan sosial. Hal itu telah jelas-jelas menomorduakan orang menengah ke bawah dalam hal pendidikan. Dengan prasyarat Rp 50.000.000,00 – 150.000.000,00 untuk masuk perguruan tinggi negeri fakultas kedokteran di sebuah PTN favorit untuk kaum berduit cetek saja. Tetapi untuk kau kecil dan lemah, harus mengubur cita-cita dalam-dalam. Sehingga tidak salah bila dikatakan, diskriminasi pendidikan saat ini nyaris sama dengan zaman penjajahan Belanda, di mana hanya kaum priyayi saja yang dapat mengikuti pendidikan. Ingat! Kita sudah merdeka, Bung!

Bahkan yang lebih menggelitik adalah bahwa beberapa perguruan tinggi lebih senang menerima mahasiswa dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura karena mereka tidak berkeberatan memenuhi ”prasyarat keuangan” itu. Ini semakin membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia bukan lagi untuk kemajuan bangsa Indonesia melalui generasi mudanya melainkan telah dijual kepada mahasiswa bangsa lain, tentu untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa lain.

Lalu timbul pertanyaan dari seorang pelajar seperti saya, ”Apakah benar apa yang selama ini guru saya ajarkan kepada saya bahwa pembangunan bangsa ini adalah bagi seluruh bangsa Indonesia? Ataukah saya harus komplain kepada guru saya karena yang diajarkannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan?” Saya ingin menagih jawaban tersebut langsung kepada pemerintah lewat tulisan ini.

Pertanyaan lebih jauhnya adalah mengapa semua hal ini bisa terjadi? Mengapa perekonomian negara belum kunjung berkembang seperti negara lain, mengapa KKN selalu terjadi, mengapa orang yang miskin tetap atau malah makin miskin dan yang kaya makin kaya? Jawababnnya adalah karena pemerintah Indonesia kurang peduli terhadap pendidikan.

Bapak-bapak yang terhormat tentu lebih tahu bahwa kunci keberhasilan suatu bangsa adalah sumber daya manusianya, bukan hanya sumber daya alamnya. Kita mengetahui, ketika Jepang luluh lantak setelah dibom atom oleh Sekutu, Sang Kaisar tidak menanyakan bagaimana perekonomian negara. Ia menanyakan dengan bijaknya tentang berapa guru yang tersisa dan  berapa sekolah yang masih berdiri. Pendidikan, termasuk para pendidiknya menjadi perhatian serius pemerintahnnya. Ia tahu benar bahwa pendidikanlah yang terpenting atas segalanya. Lalu beberapa puluh tahun kemudian, hingga saat ini puncaknya, raungnya sebagai macan Asia mendampingi China terdengar ke seantero dunia dan membuat Negara Paman Sam pun cukup gentar mendengar raungannya.

Alangkah akan dicintainya oleh rakyat apabila pemerintah Indonesia melakukan hal serupa dengan kaisar tersebut. Tapi apa yang dilakukan pemerintah kita untuk memperbaiki kualitas anak bangsa ini melalui pendidikan? Di suatu desa di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang letaknya tidak terlalu jauh dari Dinas Pendidikan dan Kantor Cabang Departemen Agama (pusat koordinasi lembaga pendidikan Islam), penghasilan seorang guru madrasah ibtidaiyah yang sudah berkeluarga dan sudah berpuluh tahun mengajar di sekolah ini, hanya Rp 50.000,00 – Rp100.000,00 per bulan atau kadang tak mendapat sama sekali. Pertanyaannya jangan dulu ”Apa itu cukup untuk biaya hidup Si Guru?” tapi cobalah dulu bertanya ”Apakah Si Guru akan maksimal memberikan ilmunya dengan gaji serendah itu?”

Dalih akan lebih banyak mensubsidi pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya dengan menaikkan harga BBM (mencabut subsidi BBM) masih perlu dipertanyakan. Selidik punya selidik, biaya masuk perguruan tinggi negeri yang selangit naiknya itu karena subsidi pemerintah dikurangi, katanya. Lalu, kemanakah uang dari subsidi BBM untuk pendidikan? Pemerintah harus menjawabnya!


Catatan: Artikel ini ditulis pada tanggal 10 Juni 2008.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Suara Hati

Pelayanan Publik dan Pemuda