Omnibuslaw Cipta Kerja: Isu Lingkungan dan Tragedy of The Commons
![]() |
Sumber: britanica.com |
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) telah resmi diundangkan oleh Presiden Joko Widodo tanggal 2 November 2020. Dalam konsideran UU Cipta Kerja, pemerintah menyatakan cipta kerja diperlukan untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dalam rangka mewujudkan tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia.
Sejak awal, UU Cipta Kerja merupakan
langkah penuh masalah (PSHK, 2020). Kritik publik dimulai terhadap penggunaan
metode omnibuslaw yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Anggono (2020) mengutip Herb Gray
bahwa omnibuslaw merupakan satu undang-undang yang mengubah banyak
undang-undang yang berbeda, sehingga dianggap dapat menghemat waktu. Akan
tetapi omnibuslaw juga memuat banyak kelemahan seperti bersifat pragmatis,
kurang demokratis, membatasi partisipasi, kurangnya ketelitian dan kehati-hatian,
dan serta kemungkinan melampaui konstitusi. Masyarakat mengkritik proses
pembentukan UU Cipta Kerja yang dinilai mengabaikan aspek prosedural,
terburu-buru dan kurang transparan.
Hasil survey Litbang Kompas terkait
UU Cipta Kerja menempatkan lingkungan sebagai salah satu isu yang mendapat perhatian
publik setelah ketenagakerjaan dan pendidikan (Maharani, 2020). Harianja (2020)
mengungkapkan catatan kritis beberapa organisasi lingkungan terhadap UU Cipta
Kerja. Center for International Forestry Research (CIFOR) menilai terdapat
risiko tinggi terhadap lingkungan sehubungan efisiensi investasi dan kemudahan
berusaha. Menurut Greenpeace, UU Cipta Kerja dapat mempercepat deforestasi
dengan penghapusan ketentuan minimal 30% luas kawasan hutan yang harus
dipertahankan dari daerah aliran sungai dan pulau. Adapun Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) mengkritisi dihapuskannya ketentuan Izin Lingkungan
berpotensi mengurangi keterlibatan masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang
baik dan sehat.
Lingkungan
dan Tragedy of The Commons
Menurut
Hyman (2010) barang publik merupakan barang dengan keuntungan yang tidak dapat ditahan
dari mereka yang tidak membayar dan digunakan bersama oleh banyak konsumen. Stiglitz
& Rosengard (2015) menyatakan barang publik memiliki sifat non-rival
consumption yaitu konsumsi satu orang tidak mencegah konsumsi orang lain,
serta sifat non-excludability berupa ketidakmungkinan mengecualikan
individu manapun dari manfaat barang publik.
Lingkungan
merupakan contoh barang publik atau barang milik bersama (commons) yang
sangat melekat dengan kehidupan manusia. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU PPLH, 2009). Meski demikian,
lingkungan memiliki batas daya dukung dan daya tampung.
Hardin
(1968) dalam artikel berjudul The Tragedy of The Commons menyatakan: “freedom
in commons bring ruins to all”. Ia mengumpamakan para gembala yang berbagi
padang rumput. Setiap penggembala digerakkan oleh logika individu yang tak
terhindarkan sehingga membuat keputusan rasional untuk mengoptimalkan
keuntungan pribadi. Mereka menambah jumlah ternak masing-masing tanpa
memperhatikan terbatasnya kemampuan padang rumput tersebut, hingga akhirnya
menghancurkan sumber daya bersama itu. Untuk mencegah “tragedy”, Hardin mengusulkan
“mutual coercion, mutually agreed upon”, suatu pemaksaan bersama yang
disepakati bersama. Hal tersebut dimanifestasikan dalam dua bentuk kepemilikian
yang disarankan, yaitu kepemilikan privat atau kepemilikan pemerintah.
Kepemilikan privat menginternalisasi biaya dan keuntungan ditanggung sendiri
oleh pemilik, sedangkan kepemilikan pemerintah memungkinkan perspektif
pengelolaan yang lebih luas dan jangka panjang yang berfokus pada kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan (Manning, 2007).
Tragedy of the commons itu
sendiri mengambil setting masalah lingkungan sehingga menjadi bagian
dasar literatur lingkungan (Manning, 2007) dan memberikan pengaruh besar bagi
kebijakan manajemen sumber daya alam (Latta, 2009). Hardin (1998) dalam Extensions
of The Tragedy of The Commons menyatakan bahwa permintaan yang bertambah
akibat pertumbuhan populasi membuat individu terjebak dalam dorongan kompetisi,
sementara sumber daya yang tersedia bersifat terbatas. Ia menekankan begitu
berpengaruhnya angka dalam persoalan tersebut. Barang publik yang tidak diatur
(unmanaged commons) penggunaannya akan hancur akibat penggunaan tak
terkendali.
Tragedy
of The Commons dalam UU Cipta Kerja
Pemerintah menginginkan adanya
peningkatan investasi dan kegiatan berusaha dalam skala industri besar maupun
skala UMKM, agar dapat menyerap lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan
ekonomi. UU Cipta Kerja bertujuan menciptakan kemudahan berusaha bagi para
pelaku usaha dalam negeri maupun investor asing melalui Foreign Direct
Investment (FDI). Kemudahan berusaha diciptakan melalui penyederhanaan persyaratan
dan perizinan berusaha. Legalitas kegiatan berusaha beresiko rendah cukup dengan
nomor induk berusaha (NIB). Legalitas kegiatan berusaha beresiko menengah cukup
dengan NIB dan sertifikat standar. Adapun izin hanya dipersyaratkan bagi
kegiatan berusaha beresiko tinggi.
Konon kebijakan tersebut memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada semua pihak untuk berkompetisi dalam mengelola
sumber-sumber daya ekonomi. Setiap orang seolah-olah diberikan akses yang sama
untuk memanfaatkan kebijakan tersebut guna meningkatkan taraf hidupnya. Maka kesempatan
dan kemudahan berusaha dapat kita pandang sebagai common goods, barang
milik bersama. Setiap orang dengan kesempatan dan kemudahan berusaha yang
dimilikinya dapat menjalankan usahanya tanpa adanya hambatan yang berarti. Namun
dengan mengacu konsep tragedy of the common, kita patut menduga kompetisi
atas dasar rasionalitas ekonomi tak terkendali justru sangat berbahaya.
Kegiatan ekonomi berbanding lurus
dengan penggunaan sumber-sumber ekonomi, termasuk sumber daya alam. Direktur
United Nations Environment Program (Hijauku, 2013) menyatakan pertumbuhan
ekonomi China yang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir berdampak
terhadap permintaan sumber daya alam yang sungguh di luar perkiraan. Peningkatan
kegiatan ekonomi yang dipicu oleh kemudahan perizinan berusaha, bukan tidak
mungkin menciptakan para pelaku ekonomi yang tamak sehingga berusaha menguasai dan
mengeksploitasi sumber daya ekonomi lebih besar dari semestinya. Hardin (1968)
menyebutnya istilah overgrazing.
Lingkungan sebagai barang publik
merupakan isu strategis dalam UU Cipta Kerja. Terdapat tiga undang-undang
lingkungan hidup yang bersinggungan yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), UU Nomor 18 Tahun 2018
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), dan UU Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). UU Cipta Kerja mengubah dan/atau
menghapus ketentuan terkait Amdal, Izin Lingkungan, dan sanksi dalam UU PPLH. Pasal
25 dan 26 semula menyatakan Amdal memuat saran masukan masyarakat dan disusun
dengan melibatkan masyarakat baik yang terkena dampak, pemerhati lingkungan,
maupun yang terpengaruh oleh segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Tetapi
pasca UU Cipta Kerja, ketentuan mengenai masyarakat dipersempit menjadi
“masyarakat yang terkena dampak langsung”. Izin Lingkungan pada Pasal 36 UU
PPLH dihapuskan dan digantikan perizinan berusaha.
UU Cipta Kerja menghapus ketentuan
luas minimal 30% kawasan hutan pada DAS atau pulau yang sebelumnya diatur Pasal
18 ayat (2) UU Kehutanan. UU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan Pasal 53 dan
111 UU P3H yang mengatur pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan sebagai lembaga yang berwenang menangani tindak pidana
perusakan hutan yang teroganisasi. Namun di sisi lain, UU Cipta Kerja
menambahkan ketentuan yang mengatur sanksi administratif bagi orang
perseorangan yang bertempat tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan. Hal
tersebut bermakna pelonggaran terhadap pelaku perusakan skala besar dan terorganisasi,
sebaliknya menjepit petani kecil dan masyarakat adat.
Gambaran singkat mengenai
perubahan-perubahan ketentuan lingkungan hidup oleh UU Cipta Kerja mencerminkan
tarik menarik kepentingan dalam kompetisi memperebutkan lingkungan sebagai
barang milik bersama. Masyarakat sebagai pengguna lingkungan dalam
tataran yang wajar sekadar untuk melanjutkan kehidupannya harus berkompetisi
dengan korporasi yang memiliki kepentingan terhadap lingkungan dalam intensitas
dan frekuensi yang tinggi, bahkan dari waktu ke waktu semakin besar mengikuti
logika efisiensi dan keuntungan ekonomi.
Penutup
Pembentuk
UU Cipta Kerja gagal mengkonsolidasikan persoalan lingkungan sebagai barang
publik. Kepemilikan privat atas lingkungan jelas bertentangan dengan
konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Sebaliknya, perspektif
pengelolaan jangka panjang yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan juga tidak nampak dalam UU Cipta Kerja. Pembentukan UU Cipta Kerja
yang pragmatis, kurang transparan, tidak partisipatif, kurang
demokratis, serta mengabaikan kehati-hatian membuat ketentuan dalam UU Cipta
Kerja sebagai mutual coercion (pemaksaan bersama) tidak
dilengkapi mutually agreed upon (yang disepakati bersama). Alhasil, the tragedy berupa pencemaran dan
degradasi lingkungan sebagaimana dikhawatirkan oleh ahli dan aktivis lingkungan
sangat mungkin akan terjadi.
Referensi:
Anggono, B.D.
(2020). Omnibuslaw sebagai Teknik Pembentukan Undang-Undang: Peluang Adopsi
dan Tantangannya dalam Sistem Perundang-undangan Indonesia. Jurnal
Rechtvinding Vol. 9 No. 1, April 2020.
Hardin, G. (1968).
The Tragedy of The Commons. Science Vol. 162 No. 1243 tahun 1968 hal.
1244. www.sciencemag.org
________. (1998). Extensions of The Tragedy of the Commons. Science Vol. 280
No. 5364 hal. 682-683, 1 Mei 1998. http://links.jstor.org
Harianja, R.
(2020). Mengapa Lingkungan Hidup Terancam dengan Ada Omnibus Law?. Mongabay.
https://www.mongabay.co.id/2020/10/21/mengapa-lingkungan-hidup-terancam-dengan-ada-omnibus-law/
Hijauku. (2013). Konsumsi SDA China No. 1 di Dunia. Redaksi
Hijauku.com. https://hijauku.com/2013/08/04/konsumsi-sda-china-no-1-di-dunia/
Hyman, D. N. (2010). Public
Finance: A Contemporary Application
of Theory to Policy, Tenth Edition. USA: Cengage Learning.
Latta, P.A.
(2009). The Tragedy of The Commons by Garret Hardin 1968. Introduction
to Sustainable Development. David V.J. Bell & Yuk-kuen Anny Cheung (Eds).
Singapore: EOLSS Publishers/UNESCO.
Maharani, T.
(2020). Ini Hasil Litbang Kompas Terkait Isu Ketenagakerjaan di UU Cipta
Kerja. Kompas Online, 26 Oktober 2020. https://nasional.kompas.com/
Manning, R.E.
(2007). Park and Carrying Capacity: Commons Without Tragedy. Washington:
Island Press.
PSHK. (2020). Siaran
Pers: RUU Cipta Kerja, Awal Langkah Penuh Masalah. Jakarta: Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia. https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/ruu-cipta-kerja-awal-langkah-penuh-masalah/
Stiglitz, J.E., Rosengard, J. K. (2015). Economics of the Public Sector. New
York: WW Norton Company.
Komentar
Posting Komentar