Guru, Jurnalistik dan Pendidikan Karakter di Masa Pandemi

Sumber: kompas.com

Tanggal 9 September 2020, dunia jurnalisme Indonesia kehilangan lagi satu tokoh terbaiknya. Jakob Oetama yang merupakan jurnalis senior sekaligus salah satu pendiri Harian Kompas, tutup usia. Tokoh pers yang dikenal santun meninggal di usia 88 tahun. Kehidupan sang jurnalis meninggalkan banyak legasi. Warisannya bukan hanya bagi orang yang bernaung di bawah grup perusahaan media yang dipimpinnya atau insan pers saja, melainkan juga masyarakat Indonesia pada umumnya. Almarhum sangat layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, apalagi beliau merupakan penerima Bintang Mahaputra Utama tahun 1973.

Mengenang jasa beliau, saya membuka-buka lagi catatan sejarah hidupnya. Dari sederet riwayat pekerjaan yang pernah dijalaninya, awal karir beliau dimulai dari sekolah. Ya, Pak JO memang seorang guru yang pernah mengabdi setidaknya pada tiga sekolah berbeda di Bogor dan Jakarta antara tahun 1952-1956. Ia memang dilahirkan di keluarga pendidik karena ayah beliau pun seorang guru Sekolah Rakyat di Yogyakarta pada masa kemerdekaan.

Pak JO memang tidak melanjutkan karirnya sebagai guru setelah beliau menemukan dunia yang kemudian membesarkan namanya. Namun, benih kecintaannya terhadap jurnalistik tentu tumbuh jauh sebelumnya dan dunia pengajaran ikut menyemai bibit unggul sang panutan pers Indonesia.

Jurnalistik di Sekolah

Membaca lagi kisah Pak JO sebagai pengajar membuat saya teringat situasi beberapa tahun silam yang mana saya terlibat di dalamnya. Masa ketika saya menjadi guru honorer pada sekolah milik pemerintah di Sukabumi sekitar tahun 2010-2012 dan terlibat dalam kegiatan jurnalistik. Sebagai guru tidak tetap, saya beserta beberapa kolega yang masih bujangan tertarik membina suatu buletin mingguan di SMP negeri itu.

Media tersebut sebenarnya program Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Sebelumnya, program dikemas dalam bentuk majalah dinding sekolah namun sempat vakum karena sepi peminat. Kami mendorong kembali eksistensinya dalam bentuk agak berbeda. Pada akhir tahun 2000-an majalah dinding memang sudah mulai meredup daya pikatnya. Media sekolah ini nampaknya menghabiskan masa-masa keemasannya di era 70-an sampai awal-awal milenium baru.

SMP itu secara letak geografis tidak terlalu strategis karena berada di perkampungan serta tidak termasuk jajaran sekolah unggulan atau favorit. Terletak di kaki Gunung Gede Pangrango, lingkungan sekolah dikelilingi bukit, kebun, sawah dan perkampungan khas wilayah perdesaan. Masyarakat sekitar umumnya berprofesi sebagai petani sehingga peserta didik kami sebagian besar anak petani atau buruh perkebunan.

Profil itu menegaskan bahwa para siswa tidak memiliki latar belakang kemampuan jurnalistik. Bahkan siswa yang sekedar punya minat membaca berita atau menulis puisi atau cerpen bisa dihitung jari. Kegiatan mereka sepulang sekolah lebih banyak dihabiskan di sawah atau kebun untuk membantu orang tua mereka bertani atau berkebun palawija.

Tak heran bila prestasi akademik dan non-akademik siswa dan sekolah ini juga kurang mumpuni dibanding sekolah negeri sekitar. Hingga tak jarang masyarakat dan murid sekolah sekitar memberi julukan kurang menyenangkan. Salah satu julukan itu adalah ‘G-Hoe’. Ini merujuk kepada makanan gorengan bernama lokal gehu, tahu yang diisi toge kemudian digoreng berbalut terigu. Julukan ‘G-Hoe’ ini agaknya bernada mencemooh, menunjuk pada kasta makanan kurang berkelas.

Tapi, sesuatu tak terduga terjadi. Ada geliat semangat yang berbeda ketika buletin rintisan kami mulai terbit pada suatu hari Senin yang cerah. Siswa dan siswi itu berdesak-desakan seraya berebut ingin lebih dahulu membaca berita bergambar sederhana tentang sekolah mereka. Hal itu terus berlangsung setiap minggu hingga menjadi tren baru.

Hari Senin yang awalnya membuat malas karena seremonial upacara bendera, seketika disambut dengan suka cita. Siswa rela datang lebih awal karena tidak ingin ketinggalan berita. Mereka suka. Dan mereka lebih suka lagi karena lembaran cetakan kertas HVS itu menampilkan foto guru favorit mereka, kegiatan ekstrakulikuler mereka, atau gambar kelas mereka sebagai jawara lomba kebersihan mingguan. Remaja-remaja tanggung itu bisa senyum-senyum sendiri lama sekali kalau melihat fotonya atau foto gebetan ada di rubrik.

Tidak perlu waktu lama untuk membuat siswa jadi suka membaca berita. Sebagian siswa juga jadi tertarik menulis karya agar bisa terbit di media milik mereka bersama. Ya, saya kira itu kuncinya. Mereka menyukainya karena buletin itu dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka. Jurnalistik sekolah telah membuat siswa percaya bahwa mereka bisa dan mau mengapresi prestasi sendiri. Ada kebanggaan dalam diri mereka ketika mendapati dirinya, temannya, kelasnya atau sesuatu yang terhubung dengannya muncul di media yang dibaca semua orang.

Istilah G-Hoe pun kami pelesetkan menjadi kepanjangan yang bermakna hebat. 'Good Human of Education' artinya manusia pendidikan yang baik.

Pendidikan Karakter

Momentum tersebut bertepatan dengan digaungkannya pendidikan karakter di sekolah. Guru dituntut tidak hanya memberikan pengajaran pengetahuan melainkan juga menekankan kembali “didikan” karakter terhadap murid-muridnya. Karakter tersebut dapat diambil dari nilai-nilai agama, budaya, serta kepribadian bangsa. Saya masih ingat ketika salah seorang guru senior membeberkan pengetahuan hasil ToT pendidikan karakter.

“Hindari penggunakan kata-kata bermakna negatif, sebaliknya gunakan kata-kata bermakna positif. Awas, kalau jawaban murid salah jangan dibilang kamu tidak bisa atau kamu bodoh ya, tapi kamu pasti bisa jika kamu lebih rajin belajar!”

Semua dokumen pembelajaran pun dibongkar total: silabus, RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran), dan sebagainya. Semua harus memuat secara eksplisit karakter apa yang akan ditanamkan pada siswa.  Alhasil, jurnalistik sekolah berbentuk buletin itu menjadi program pendukung yang tidak terpisahkan dari pendidikan karakter, di samping ekstrakurikuler yang masih eksis seperti Pramuka, PMR, Paskibra, remaja masjid, d.l.l.

Puncaknya, saya dan satu orang rekan guru muda diutus Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi sebagai peserta pelatihan pendidikan karekter melalui penulisan jurnalistik yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat di Cirebon selama tiga hari pada 29 Mei - 1 Juni 2012. Dalam salah satu sesi, kami diminta untuk memaparkan pengalaman pengembangan jurnalistik dalam mendukung pendidikan karakter di sekolah. Pemerintah agaknya telah menyadari bahwa beberapa karakter seperti kritis, analitis, demokratis, jujur, dan kreatif pada siswa dapat dikembangkan melalui suatu karya jurnalistik.

Seiring dengan program Revolusi Mental yang digagas Presiden Jokowi di awal pemerintahan periode pertama, pendidikan karakter semakin memiliki landasan kuat. Hal itu memang sudah seharusnya karena pengaruh negatif ekses perkembangan teknologi informasi juga semakin gencar masuk ke dalam relung kehidupan dan karakter anak-anak kita. Karakter bangsa ketimuran dengan segala nilai luhurnya perlu dibangun sebagai benteng yang kokoh untuk memagari generasi muda kita dari efek negatif Revolusi Industri 4.0. seraya mengambil berbagai manfaat positif. Jurnalisme di sekolah dapat menjadi wahana untuk memupuk karakter, contohnya kritis dan jujur. Manfaat sederhananya, siswa yang memahami dasar jurnalistik akan memiliki sense untuk memeriksa keakuratan setiap informasi yang diterimanya sehingga berpeluang menangkal hoax atau berita bohong.

Masa Pandemi

Masa pandemi ini sekolah pada umumnya menutup kegiatan belajar mengajar face to face dan digantikan pembelajaran dari rumah. Kegiatan belajar sebagian dilakukan secara daring yang menyebabkan akses peserta didik terhadap gadget dan internet semakin luas. Selain memiliki aspek positif sebagai sarana pendukung belajar di rumah, fasilitas tersebut rentan disalahgunakan siswa apabila tidak diarahkan.

Guru dituntut kreatif dalam memberikan (tugas) pelajaran sekaligus tetap berupaya untuk menjangkau karakter siswa. Memadukan jurnalistik sekolah dengan teknologi informasi yang digenggam siswa menjadi potensi tidak terbatas membentuk karakter mereka. Mungkin bukan lagi zamannya buletin, tapi bisa majalah elektronik atau bahkan podcast. Mungkin tidak bisa berisi tentang kegiatan ekskul, tapi bisa tentang suka duka belajar di rumah atau pandangan remaja terhadap wabah yang tengah melanda.

Memang tidak semua guru bisa menjadi tokoh media massa sekelas Jakob Oetama. Tapi, semua guru bisa memanfaatkan jurnalistik untuk membentuk karakter siswa. 

Catatan: 
- Penghargaan yang tinggi kepada teman saya, Bapak Badrul Mu'min yang saat ini masih mengabdikan diri sebagai guru dan mungkin masih mengembangkan jurnalistik di sekolah. 
- Ditulis 9 September 2020 dengan perubahan seperlunya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wawancara Beasiswa LPDP

Memilih Ombudsman