RT RW: Posisi Kopral Kewenangan Jenderal
Jika
akhir-akhir ini ramai orang bicara tentang Ahok karena kasus dugaan penistaan
agama, pernah juga ramai pertentangan Ahok dengan para Ketua RT dan RW se-DKI
Jakarta. Saat itu, Ahok mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan RT dan RW untuk
melaporkan kinerja pelayanannya lewat aplikasi Qlue. Tidak tanggung-tanggung,
tiga kali laporan dalam sehari. Ketua RT dan RW berontak tidak setuju. Masalah
ini berbuntut pada Gerakan 3 Juta KTP Tolak Ahok.
Rasa-rasanya
tidak ada orang dewasa yang tidak mengenal istilah Pak RT (Ketua Rukun
Tetangga) dan Pak RW (Ketua Rukun Warga), baik di perkotaan maupun pedesaan.
Apabila pada komunitas masyarakat ada masalah, dia adalah orang pertama yang
dituju. Mungkin itu juga sebabnya dunia entertainment banyak melibatkan
karakter Pak RT di film, talk show, ataupun sinetron karena perannya sangat
erat dengan keseharian masyarakat.
Posisi
Kopral dengan kewenangan bak Jenderal. Pertama, dia merupakan respresentasi
penguasa terhadap akar rumput. Misalnya, pada sejumlah alur pelayanan publik,
tanda tangan dan stempel-nya sangat mujarab bagi lancarnya proses pelayanan.
Kedua, ia merupakan representasi suatu masyarakat terhadap penguasa atau
komunitas lain. Misalnya, sosialisasi sejumlah kebijakan dan program
pembangunan Pemerintah atau sosialisasi pembangunan pabrik biasanya cukup
diwakili Ketua RT dan RW. Kedua posisi ini memiliki posisi tawar yang cukup
strategis dalam lingkup, situasi, dan kepada pihak tertentu.
Posisi
tawar yang strategis merupakan powers, yang menurut teori klasik sangat rentan
terhadap penyelewengan. Powers tend to corrupt, begitu kata Lord Acton. Maka,
tidak mengherankan apabila banyak kabar Raskin disunat RT, iuran sampah
dikorupsi RW, RT lakukan pungli pengantar KTP, RW makan CSR pabrik, dan
lain-lain. Dengan fakta-fakta itu, banyak orang menganggap ia menjadi
penghambat pelayanan publik yang berkualitas.
Keberadaan
RT dan RW di Indonesia tidak terlepas dari sejarah pendudukan Indonesia oleh
Jepang. Sebagaimana dibahas dalam buku Sejarah Indonesia karangan Sartono
Kartodirdjo, ialah Pemerintah Jepang yang memperkenalkan sistem tata
pemerintahan RT dan RW negeri kita. Dalam bahasa Jepang, Rukun Tetangga dikenal
dengan nama Tonarigumi dan Rukun Warga adalah Azzazkyokai. Konon, sistem ini
dipakai oleh Jepang dalam rangka merapatkan barisan diantara para penduduk
Indonesia sekaligus sebagai pengawasan dan pengendalian Pemerintahan Militer
Jepang atas suatu wilayah.
Menurut
Permendagri No. 5/2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, RT dan
RW merupakan salah satu Lembaga Kemasyarakatan yang ada di desa atau kelurahan.
Lembaga Kemasyarakatan dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan
merupakan mitra Pemerintah Desa dan lurah dalam memberdayakan masyarakat.
Jenisnya bermacan-macam, mulai dari Lembaga Adat, LKMD/LPMD, PKK, Karang
Taruna, dll.
Dari
sekian banyak Lembaga Kemasyarakatan, RT dan RW adalah yang paling erat dengan
kepentingan seluruh anggota masyarakat. Hal ini karena tugasnya membantu
Pemerintah Desa dan Lurah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Fungsinya
antara lain: pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan
lainnya; pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga; pembuatan
gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi dan swadaya
murni masyarakat; dan penggerak swadaya gotong royong dan partisipasi
masyarakat di wilayahnya.
Dengan
adanya fungsi pelayanan administrasi pemerintahan tersebut, maka dalam banyak
pelayanan publik Surat Pengantar RT/RW selalu dipersyaratkan. Untuk membuat
KTP, Keterangan Domisili, pengajuan Beasiswa Miskin dan lain-lain, surat ini
bagai “surat sakti”. Tanpa surat pengantar tersebut, hampir mustahil pihak Desa
atau Kelurahan akan memberikan pelayanan dalam prosedur normal.
Pertanyaannya,
apakah RT dan RW mampu menyelenggarakan pelayanan publik sesuai tuntutan UU
Pelayanan Publik? Faktanya, pengurus RT dan RW adalah anggota masyarakat yang
memiliki profesi beragam. Sehingga yang sering terjadi, Ketua RT baru bisa
ditemui pada malam hari selepas ia bekerja sebagaimana profesi dan
pekerjaannya. Artinya, pelayanan publik hanya diberikan dengan sisa waktu dan
tenaga sehingga cenderung tidak optimal.
Konon
pada masa yang lalu, tidak ada orang dewasa benar-benar ingin menjadi Ketua RT
atau RW. Kebanyakan orang yang pernah menduduki “jabatan” itu karena terpaksa.
Untuk menghibur diri, dibumbuilah dengan embel-embel sebagai pengabdian. Alasannya, Ketua RT dan Ketua RW adalah “aparat
negara” paling berat tanggung jawabnya tapi kesejahteraannya nol. Berbeda
dengan saat ini, banyak orang bela-belain melapor kesana-kemari karena kalah
pemilihan Ketua RT atau RW. Rupanya pada zaman ini, honor Ketua RT/RW tidak
separah dulu. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui berbagai anggaran,
memberikan alokasi yang lumayan. Sehingga sudah banyak juga orang yang
menekuninya full time sebagai sebuah pekerjaan.
Kewenangan
besar RT dan RW dalam pelayanan publik nyata adanya. Namun Pemerintah tidak
boleh mempertaruhkan kualitas pelayanan publik dengan membiarkan pelayanan
dilakukan dengan manajemen alakadarnya. Pemerintah mesti memerankan fungsi
kontrol secara optimal. Menghilangkannya dari sistem pemerintahan di desa atau
kelurahan bukan merupakan pilihan yang tepat. Sebagai alternatif, dapat dengan
mencabut fungsi pelayanan administratif yang ada RT dan RW atau dengan tetap
memberikan fungsi pelayanan administratif namun dengan jaminan kepatuhan secara
penuh terhadap ketentuan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
(Catatan: Artikel ini telah dipublikasikan pada www.grassuntukmasyarakat.blogspot.com tanggal 10 Februari 2017)
Komentar
Posting Komentar