Tradisi "Samenan" di Era Pendidikan Gratis
Ada
sebuah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut acara kenaikan kelas dan
perpisahan di Jawa Barat, yaitu Samen atau Samenan. Di daerah lain di nusantara
mungkin terdapat beragam istilah yang mempunyai arti sama dengan istilah ini.
Samen
adalah suatu kegiatan yang telah menjadi kebiasaan bahkan tradisi dalam siklus
tahunan pendidikan di Indonesia. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada setiap
akhir tahun pelajaran, yakni pada akhir
catur wulan III (pada kurikulum 1994) atau pada akhir semester kedua pada
kurikulum setelahnya. Kegiatan ini memang
tidak terlepas dari kegiatan pembagian buku laporan pendidikan (rapor
peserta didik). Tidak diketahui sejak
kapan tradisi dalam dunia pendidikan ini dimulai. Mungkin saja sejak Politik
Balas Budi oleh Belanda (Politik Etis) yang ditandai dengan dibolehkannya orang
pribumi mengenyam pendidikan, atau mungkin pada masa-masa setelah itu dimana
pendidikan mulai menjadi perhatian dalam perjalanan bangsa Indonesia, sesuai
amanat Konstitusi.
Namun,
terlepas dari kapan, dimana dan siapa yang memulainya, kegiatan tahunan ini
patut diapresiasi dalam rangka mendukung kelangsungan pendidikan. Pada setiap
tingkatan pendidikan, baik SD, SM maupun SMA, samenan seringkali diisi dengan
acara-acara yang mendukung kreasi peserta didik khususnya pada bidang seni dan
budaya. Peserta didik dari berbagai tingkatan, didorong untuk berkreasi seni
sesuai dengan kemampuannya masing-masing, ada yang menari, menyanyi, berpuisi,
memainkan drama, dan lain sebagainya. Tak jarang, kegiatan tahunan ini
mengusung tema pelestarian budaya nasional dan budaya daerah setempat, seperti
tarian-tarian adat, lagu-lagu daerah dan pakaian-pakaian daerah.
Pada
sekolah-sekolah di Jawa Barat, kenaikan kelas dan perpisahan seringkali diisi
dengan suatu upacara adat tradisional dengan tokoh Ki Lengser sebagai tokoh
utamanya. Acara tersebut selalu menjadi primadona dan kebanggaan tersendiri
baik bagi siswa, orangtua, bahkan
masyarakat sekitar, apalagi jika para pelaku acara adalah para peserta didik itu
sendiri. Secara umum, dapat dikatakan bahwa
kegiatan semacam ini cukup penting dalam mengembangkan kreasi peserta
didik, pelestarian budaya serta menjadi penutup tahun pelajaran yang
menyenangkan.
Namun,
di sisi lain, hajatan tahunan sekolah semacam ini memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Tak jarang setiap orang tua peserta didik dibebankan dengan iuran yang
cukup besar untuk menanggung biaya acara ini secara tanggung renteng. Kemampuan
keuangan orang tua peserta didik yang bervariasi terkadang terabaikan
(baca:diabaikan), dengan dalih bahwa kegiatan ini adalah untuk kemajuan peserta
didik itu sendiri dan gengsi sekolah tersebut diantara sekolah lain. Walaupun
di banyak sekolah besaran iuran setiap peserta didik ditentukan dalam rapat
dengan Komite Sekolah, namun hal ini biasanya tidak memberi banyak arti. Pada
akhirnya, tetap saja setiap orang tua “mau tidak mau” dan “siap tidak siap”,
harus membayarkan sejumlah uang dalam tenggat waktu yang biasanya cukup
singkat, hanya beberapa minggu, untuk biaya hajat tahunan sekolah ini. Demi
kemajuan peserta didik. Demi gengsi sekolah.
Pendidikan
Gratis
Pada
masa dimana “pendidikan gratis” atau “sekolah gratis” belum menjadi kebijakan
Pemerintah, biaya tahunan samenan ini mungkin tidak terlalu jadi perhatian
publik. Namun, berbeda halnya dengan masa kini, dimana pameo pendidikan gratis
sudah menggaung demikian hebatnya sebagai akibat kebijakan (politik) Pemerintah
di bidang pendidikan. Pungutan sekecil apapun, akan menjadi perhatian
masyarakat, menjadi objek pengawasan kualitas pelayanan publik dan isu di
bidang pendidikan yang cukup “seksi” dan sensitif.
Apa
yang telah dilakukan oleh Pemerintah melalui kebijakan pendidikan memang patut
dihargai. Pendidikan merupakan amanat konstitusi negara, yaitu Undang-undang
Dasar 1945, bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan
Nasional bangsa Indonesia dan Pemerintah wajib membiayainya. Bahkan pada
perkembangan konstitusi melalui amandemen, ditegaskan bahwa Pemerintah wajib
menyediakan biaya untuk bidang pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Namun, dengan anggaran yang sudah ada sedemikian,
sudahkan Pemerintah memberikan kualitas pendidikan yang lebih baik atau minimal
setara dengan kulitas pendidikan di masa sebelumnya dimana dibuka ruang yang
lebar baik partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan?
Jawabannya
dapat kita cermati dalam fakta di lapangan. Bantuan Pemerintah untuk membiayai
pendidikan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) misalnya, banyak
dikeluhkan oleh para pelaku pendidikan di sekolah, hanya mampu membiayai
operasional secara minimal. Artinya, pelayanan publik di bidang pendidikan yang
diberikan pada anak-anak yang dibiayai bantuan yang diberikan Pemerintah dalam
rangka “pendidikan gratis” pun adalah pendidikan dengan standar pendidikan yang
sangat minimal. Lalu bagaimana dengan kualitas pendidikan yang menjadi
cita-cita, apakah akan diabaikan begitu saja?
Samenan,
salah satu kegiatan tahunan di sekolah sebagaimana penulis bahas di atas, hanya
salah satu saja dari kegiatan pengembangan diri peserta didik yang menjadi
“korban” kebijakan pendidikan gratis. Banyak kegiatan lainnya, yang sangat
bermanfaat bagi peserta didik namun tidak dapat dilaksanakan karena
keterbatasan anggaran di sekolah yang sangat terbatas oleh dana dari BOS.
Sementara, untuk memungut dana dari orang tua siswa, sudah dibatasi dengan
kebijakan dari berbagai tingkatan atau sebetulnya tersandera dengan opini
publik “pendidikan gratis” yang sudah semakin menggaung. Simalakama.
Akhirnya, kebanyakan pelaku pendidikan di sekolah hanya menyelenggarakan
pendidikan apa adanya, pendidikan seadanya dan akhirnya “pendidikan apa-apaan”.
Sebenarnya,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Undang-Undang Sisdiknas) masih membuka ruang adanya partisipasi masyarakat,
termasuk orang tua peserta didik dalam rangka pembiayaan pendidikan. Hal ini
diperjelas pula dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2012 tentang
Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar, yang
menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan berasal dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan Masyarakat. Pembiayaan dari
masyarakat itu sendiri dari berasal dari sumbangan peserta didik atau
orangtua/walinya, sumbangan dari pemangku kepentingan pendidikan dasar selain
peserta didik atau orangtua/walinya, bantuan dari lembaga lain yang tidak
mengikat, serta bantuan pihak asing yang tidak mengikat. Dalam Peraturan
Menteri ini diatur mengenai bentuk
bantuan yang boleh dibebankan dari orang tua peserta didik, sehingga muncul
istilah “pungutan” dan “sumbangan”.
Pungutan
biaya terhadap orang tua peserta didik sudah tidak diperbolehkan lagi dalam
penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar. Ciri dari pungutan adalah sifatnya
yang mengikat baik besar nominal biaya maupun jangka waktu pemenuhannya.
Pungutan juga biasanya dikaitkan dengan jenis pelayanan tertentu, misalnya jika
tidak membayar maka si peserta didik tidak diperbolehkan mengikuti ujian atau
tidak diberikan buku rapornya. Hal inilah yang secara tegas dilarang oleh
Peraturan Menteri ini. Namun, selain pungutan dikenal istilah sumbangan, dimana
sifatnya tidak mengikat baik nominal maupun tenggat waktu pemenuhannya. Bahkan
jika orangtua peserta didik tidak mampu atau tidak bersedia membayar, hal ini
tidak ber-resiko apapun terhadap pelayanan yang diterima oleh si peserta didik.
Namun,
pada kenyataan di lapangan, antara pungutan dan sumbangan ini menjadi bias,
sulit dibedakan. Pungutan-pungutan di beberapa sekolah, dengan legitimasi
Komite Sekolah serta merta bisa saja menjadi pungutan jika melihat dari
sifatnya yang mengikat. Kesepakatan bersama, adalah salah satu istilah paling
populer yang seringkali menjadi dalih pungutan. Alhasil, para peserta didik
dimana orang tuanya tidak mau atau tidak mampu membayar iuran tersebut seringkali
mendapat sanksi baik secara kelembagaan atau minimal secara sosial. Masih
banyak ditemukan ijazah atau rapor yang ditahan oleh pihak sekolah. Pada kasus
lainnya, banyak orang tua yang mengeluh karena anaknya mendapatkan sanksi
sosial berupa pengasingan dan berbagai macam bullying lainnya oleh
teman-temannya atau diskriminasi pelayanan oleh pihak sekolah karena tidak
dipenuhinya pungutan berbungkus sumbangan ini.
Untuk
mengatasi bias antara sumbangan dan
pungutan tersebut, beberapa Pemerintah
Daerah telah melakukan upaya untuk menekan pungutan-pungutan berbalut sumbangan
ini di sekolah-sekolah di wilayahnya. Pemerintah DKI Jakarta misalnya, telah
menggagas adanya Deklarasi Sekolah Transparan dan Akuntabel yang telah
diselenggarakan secara akbar di Lapangan Monas pada tanggal 30 Desember 2014.
Dengan adanya komitmen bersama ini diharapkan pungutan-pungutan yang tidak
jelas terhadap peserta didik oleh pihak sekolah hilang sama sekali. Tekad ini
ditegaskan dengan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sekolah Transparan dan Akuntabel
dimana didalamnya terdapat larangan keras terhadap segala bentuk pungutan di
sekolah. Sanksinya pun tidak tanggung-tanggung, dapat berupa pemecatan kepada
sekolah dari jabatannya. Dengan upaya
tersebut diharapkan pungutan-pungutan yang tidak jelas terhadap peserta didik
oleh pihak sekolah hilang sama sekali. Mungkinkah? Bisa jadi, karena takut
dipecat mereka akan patuh walupun banyak pula kepala sekolah yang mengeluh
karena anggaran dari BOS dan BOSDA Provinsi DKI morat-marit untuk mengatasi
operasional sekolah yang tinggi.
Resolusi
Kondisi
tersebut akan menjadi sangat mungkin diwujudkan jika pembiayaan pendidikan oleh
Pemerintah telah sesuai dengan harapan berbagai pihak dalam rangka memberikan
kualitas pelayanan pendidikan terbaik bagi peserta didik. Dengan dukungan
anggaran yang pas-pasan, sementara
tuntutan terhadap kualitas pendidikan sangat tinggi, hanya akan menjadi jurang
masalah yang dalam dan lebar yang terkadang harus dihadapi sendirian oleh
pelaku pendidikan di sekolah. Jangankan untuk kegiatan-kegiatan tambahan yang
bersifat pengembangan, untuk menunjang kegiatan wajib saja sekolah harus
benar-benar berhemat. Simalakama. Ingin sekolah maju, pendidikan maju, peserta didik maju, sementara dana BOS
mundur maju, bahkan seringkali pencairannya. Akhirnya, kegiatan-kegiatan
bermakna kreatifitas, pengembangan seni dan budaya, serta perekat hubungan
sekolah dengan orangtua seperti kegiatan samenan menjadi korban pertama atau
korban kesekian. Akhir tahun pendidikan pada masa kini dan akan datang mungkin
saja akan hening dan sepi tanpa adanya apresiasi terhadap peserta didik, guru,
dan orang tua adalah potret sebuah tradisi pendidikan yang tergerus.
Pemerintah
harus lebih bijak menyikapi hal ini. Boleh saja bahkan sangat baik jika
Pemerintah terus menggaungkan pendidikan gratis sehingga dapat diakses oleh
setiap kalangan masyarakat tanpa kecuali. Namun, hendaknya kebijakan ini
diikuti dengan alokasi dan pengelolaan anggaran pendidikan yang berorientasi
pada pelayanan bagi penerima layanan, yaitu peserta didik. Kebijakan anggaran
pendidikan yang baik tentu tidak akan mengabaikan dan mengorbankan prestasi
peserta didik atau prestasi sekolah. Penganggaran bantuan pendidikan oleh
Pemerintah harus dapat menjamin
berkembangnya keunggulan-keunggulan (prestasi) peserta didik dan sekolah.
Di
sisi lain, kebijakan anggaran pendidikan juga seharusnya mempertimbangkan
nilai-nilai tradisi pendidikan yang berkembang di masyarakat, seperti kegiatan
samenan dalam konteks pembahasan ini. Bukankah konsep pendidikan yang sedang
diusung bukan hanya harus cerdas intelektualnya melainkan juga cerdas secara
emosional, spiritual, bahkan kultural? Maka, kegiatan-kegiatan tradisi
berkaitan dengan pendidikan di era pendidikan gratis ini harus pula mendapatkan
perhatian agar menjadi pendukung kokohnya soko guru pendidikan di negeri
tercinta ini.
Asep Cahyana (Kang Achay)
(Catatan: Artikel ini juga dipublikasikan pada www.grassuntukmasyarakat.blogspot.com edisi 1 Juni 2016)
Komentar
Posting Komentar